Senin, 02 Juli 2012

sepuluh tahun lagi

Seringkali saat aku mengatakan bahwa aku tidak tertarik dengan komitmen. Aku hampir-hampir setuju dengan Bilangan Fu milik Ayu Utami tentang mengerikannya hubungan dengan perempuan, walau gambaran Utami lebih membuat bulu kudukku merinding (selain mengerutkan kening).

Jadi, perjalananku dengan partner selama 6 tahun ini membuatku lumayan heran, apa yang membuatku mau menghabiskan masa mudaku dengan setia kepada partner?

Mulai dari usia sepertiga awal dua puluhanku sampai sepertiga akhirnya, banyak peristiwa, ada yang sedih, banyak yang gembira, kadangkala datar. Begitu menghindari komitmen, aku sampai bilang pada partnerku di awal perjalanan kami, jika sepuluh tahun lagi dia masih mencintaiku, aku pasti akan kembali padanya (jika kami waktu itu sudah putus). Dengan syarat dia mengirimiku tiket ke Bali untuk menjumpainya di sana (aku berniatan awal untuk lari sementara dari pekerjaanku, apapun kerjaku sepuluh tahun yang akan datang, dengan tiket gratisan ke Bali dari partner -aku yakin dia tidak keberatan).

Aku tertawa dalam hati, dengan cowok aku bisa bertahan tujuh tahun, dengan cewek sebelumnya cuma satu setengah tahun, tentu aku pesimis dengan hubungan sesama perempuan. Pesimis dan ogah berkomitmen, untuk apa menghabiskan waktu menepati janji pada seseorang yang tidak ada di masa depan kita?

Tapi jangan pikir aku akan menulis tentang aku dengan partner. My relationship is something I don't want anyone to interfere. Hanya saja aku menekankan kata "sepuluh tahun lagi" yang kuterapkan pada partner, yang akan kujadikan pokok tulisan.

Bermula dari seorang, yang kuduga lesbian, datang bersama ibunya ke ruang Triage sebuah rumah sakit. Usianya barangkali dua puluh satu, dengan keluhan panas badan. Saat memeriksa nadi di pergelangan tangan, kulihat beberapa bekas luka di sana. Percobaan bunuh diri. Ibunya sedang bicara dengan dokter ketika kudekati dia, kubalik tangannya hingga telapak menghadap ke atas, kuraba jaringan parut miliknya. Dia tertegun. Aku seksama mengamati luka lamanya yang kehilangan warna, bertanya padanya lewat tatapan. "Sayang, apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri?" bisik mataku pada matanya, bibirku melengkung sedih. Aku seperti merasakan dia perlahan membuang nafas yang tak sengaja tertahan.

Mereka yang datang ke sini kebanyakan ingin hidup lebih lama, ingin mengembalikan tubuh ke fungsi semula dengan berbagai cara. Beberapa datang dengan sia-sia, beberapa datang dengan menyia-nyiakan hidupnya. Aku terperangkap menjadi sosok yang dipercaya manusia menjadi perpanjangan tangan Tuhan, menyelamatkan manusia lain. Sementara jauh dalam hatiku, aku tahu aku mungkin melakukan hal sebaliknya.

Begitu heran dengan anggapan apa-apa yang dilakukan sosok-sosok yang berprofesi mirip denganku adalah sosial, sementara aku sering memalingkan muka dari kata "tolong". Aku tak menuntut ilmu dari belas kasihan orang lain, kadang mereka memaki bahkan meminta pertanggungjawaban saat aku salah, apa aku tak layak melayani mereka dengan ketus? Jangan harap aku berpikir pembeli adalah raja.

Tapi hatiku lebih cerdik rupanya dari otakku. Dasar perempuan. Ternyata 80% mereka 'sembuh' dengan senyuman, perhatian dan pengertian. Dengan formula itu, kerumitan tak lagi panjang. Jadi aku berniat menerapkan formulasi yang sama pada perempuan di Triage ini.

Perempuan, berapa banyak yang berpikiran untuk menghabisi diri sendiri, bukan cuma melukai? Aku jadi salah satu yang akan tunjuk tangan bila seseorang bersedia memanggil nama melakukan presensi. Akan kujadikan diriku contoh sempurna perempuan yang terbelit-belit dalam lingkaran abu-abu yang tak hanya punya satu degradasi warna. Malaikat, lesbian, anak perempuan yang bermuka dua, malaikat maut, fobia komitmen tapi begitu mencintai pasangan, perusak persahabatan dan perebut istri orang. Itu hanya sebagian kecil, percayalah. Dan bila sepuluh tahun yang lalu aku memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hidupku di dunia, aku takkan tahu jadi apa aku dalam sepuluh tahun kemudian.

Sepuluh tahun lalu, mengetahui aku jatuh cinta pada sesama perempuan, menghadapi ujian masuk perguruan tinggi padahal aku tak tahu jurusan apa yang kumau, mendapati teman-teman sibuk menjalani hidupnya sendiri selepas sekolah menengah, mendengar setiap hari tentang keinginan ini-itu orang tua dan orang-orang dekat, membiarkan orang lain memutuskan jalan untukku, takut akan masa depan, berkali-kali bertanya sendiri "mau dibawa ke mana hidupmu, n1n?", dan tak punya satupun teman dekat untuk berbagi membuatku berpikir bahwa bunuh diri adalah jawaban tepat untuk semua pernyataan remuk redamnya hati di atas. Dan sepuluh tahun setelahnya kudapati itu adalah perbuatan yang konyol karena aku punya segalanya di usia ini.

Itulah form berikutnya yang akan kubisikkan dengan hati-hati, dengan segenap perhatian, pengertian dan sedikit senyum kecil dibalut keprihatinan kepada perempuan yang kuduga lesbian itu, "Apapun yang terjadi pada hidupmu, semenakutkan apapun ke depannya, seburuk apapun situasinya, sepatah hati apapun perasaanmu dan sebahagia apapun yang kau rasakan, berjanjilah memberi dirimu sendiri waktu sepuluh tahun lagi, sebelum menarik pelatuk menembak diri sendiri atau mengiris nadi."

Sebab sepuluh tahun yang lalu, akulah perempuan di Triage itu.

jalanan, n1nna...

aku mulai merasa, semakin hari aku mendekati saat membuat keputusan penting dalam hidupku. sesuatu yang selalu bisa kuhindari, selalu bisa aku berlari dari, sekarang kusadari betapa pentingnya ia untuk menjadi pijakan masa depanku. dan aku menangis jauh sebelum aku sampai di persimpangannya.

itulah, aku selalu takut dengan masa depan.

aku tak takut tantangan, ada mantera "ini pasti akan terlewati juga" yang bisa kuulang-ulang dan terbukti khasiatnya, yang membantuku melewati hari satu-satu. berhari-hari kunyanyikan big girls dont cry, 

"The path that I'm walking
I must go alone
I must take the baby steps 'til I'm full grown"

berulang-ulang sampai hatiku pedih dan menangis, dengan aroma pengakuan bahwa aku harus membuat keputusan cepat atau lambat di persimpangan itu nanti.

TIME MAKES YOU BOLDER,
CHILDREN GET OLDER
AND I'M GETTING OLDER, TOO.

ya, akupun menua pada akhirnya, membawaku pada persimpangan yang selalu kujauhi.

berkali-kali mengulang serial glee dan mendapatiku berperang batin yang sama, mau dibawa ke mana hidup kita? quo vadis, n1nna? akan berkembang menjadi seperti apa lagi, hey, diriku sendiri?

so much to learn, so much to try


Tuhan, tahu apa aku tentang masa depan?

"Where shall I go? To the left where nothing's right or to the right where nothing's left?"