Rabu, 24 Oktober 2012

"kapan nikah?"

Beberapa hari ini, pertanyaan tentang "kapan nikah?" sedang jadi topik hangat di sekelilingku. Tentunya pertanyaan itu ditujukan padaku. Bahkan kakak kelas yang sama belum menikah juga menanyakannya, kadang kuputar dengan balik tersenyum dan menggoda. Atau hanya kuangkat alis kiri sambil ketawa ala mak lampir, tak berusaha keras mengalihkan topik.

Hampir seluruh teman yang menanyaiku itu berdecak penasaran, laki-laki mana yang akan mendampingiku kelak. Barangkali mereka paham, setiap aku naksir seorang laki-laki maka 90% kecenganku itu sudah beristri. Sengaja. Atau tidak sengaja. Sering dituduh asal tunjuk yang oom-oom, yang sedikit tambun dan atau yang di lengannya duduk seorang balita, saat aku ditanya tentang tipe laki-laki yang kusukai. Aku tak suka berkelit dengan berbohong, aku benar-benar suka laki-laki perut buncit untuk dipeluk.

Sering kali aku bersahabat dengan perempuan yang punya percik-percik lesbian di tatapannya. Menggodaku, "pasti kamu suka aku, makanya kamu betah gak nikah," atau, "kamu naksir aku, kan?" yang kubalas dengan sama genitnya. Dan tersenyum.

Perempuan punya berbagai macam senyum, sering memilih tersenyum pahit saat marah atau kecewa. Kita bisa berlindung dari godaan pertanyaan, "kapan nikah?" dengan senyum. Tak perlu mematahkan topik dengan berlagak, "awas ada UFO," atau lari tunggang langgang. Tak perlu membalas dengan pilihan kata mulai yang pedas cabe 1 biji sampai 7 biji. Barangkali tak perlu berkelit atau berbohong, kenali lawan bicara dan bila tak bisa maka tersenyum saja. Mulai sekarang berlatihlah tersenyum berbagai ekspresi, senyum murung, senyum lega, senyum menantang, senyum pas-pasan dan sebagainya.

Sebagai contoh, bila oom yang keren menanyakan, "kapan nikah?" segera beri senyum lega sambil ditambah bumbu, "saya kira oom nggak tau saya single. Sekarang tahu, 'kan?" dan kedip-kedipkan kelopak mata. Atau kakak kelas yang menyebalkan bertanya, "kapan nikah?" beri senyum murung seakan baru ditinggal mati seseorang penting, bila perlu titikkan airmata agar dia keki. Paling tidak untuk jangka waktu setahun dia tidak akan mengganggumu.

Sedikit repot kalau menikah adalah tuntutan orang tua. Beberapa orang beruntung punya orang tua yang berpikiran terbuka, sebagian lain beruntung dengan orang tua yang prihatin anaknya tak laku-laku. Mulai pasang iklan, "dicari: suami," ke tetangga, teman arisan sampai saudara-saudara jauh bahkan minta ke teman perempuan yang sering dibawa anaknya ke rumah (yang ternyata pacar anaknya) untuk mencarikan calon. Belum lagi bila permintaan cepat nikah itu dilakukan orang tua sambil menangis, menyertakan penyakit ini-itu atau usia. Lantas, kita mau berkelit apa?

Senyum dulu, kuberi tahu sebuah rahasia. Kebanyakan teman-teman lesbianku yang menikah dengan terpaksa, untuk status palsu, berakhir melukai laki-laki. Jangan pernah berpikir menjadi korban cinta setelah terpaksa menikahi laki-laki yang tidak dicintai. Barangkali justru keputusan egois agar selamat dari terpaan badai topan pertanyaan, "kapan nikah?" -lah muasal bencana sebenarnya. Atau berkelit dengan alasan "asal orang tua bahagia." Semua bermula dari diri sendiri, berkaca dan bertanyalah, menikah untuk membahagiakan diri atau orang lain?

Aku bukan orang yang menampik usulan menikah dengan laki-laki, tapi bukan untuk menyelamatkan muka atau demi orang lain. Aku orang yang punya cita-cita menjadi bahagia, bukan sekedar mimpi. Bahagia tidak terikat pada unsur perempuan atau laki-laki. Bahagia sering kali diwujudkan secara sederhana dengan senyuman.

Tersenyumlah untuk sebuah jawaban yang sederhana, sedikit rumit atau luar biasa membingungkan. Pernikahan adalah sesuatu yang penuh kejutan dan rahasia: dengan siapa, kapan dan di mana. Kulumlah sebutir senyum untuk pertanyaan, "kapan nikah?" -mu sambil ucapkan mantra dalam hati: I have secrets, I won't share.