Jumat, 11 Januari 2013

Sepocikopi jaya!

Rutinitas adalah pengabur jejak waktu yang paling mujarab. Sering kali, dengan rutinitas yang bertubi-tubi, 24 jam tak cukup buatku.
Seperti hari ini, saat aku mendapatkan email dari Sepocikopi, terus terang aku kaget. Aku tak pernah merasa diriku adalah kontributor tetap, hanya menulis sesempatnya, semoodnya, dan se-se yang lain yaitu melihat kondisi dan situasi yang ada. Dalam hati membatin, aku punya tugas bejibun yang belum kuselesaikan, Sepocikopi meminta satu tulisan untuk tanggal tertentu dengan tema ulang tahunnya. Kalau sehari lebih dari 24 jam, bolehlah, masih membatin dalam hati.
Lalu aku berpikir ulang kembali, berapa banyak orang yang beruntung seperti aku? Menjadi bagian dari sederet penulis yang ditunjuk untuk memberi warna jendela elektronik di majalah online yang menyatukan dan menjadi panutan  demikian banyak lesbian di nusantara (bahkan mungkin di luar juga). Aku punya satu kolom yang bisa kumanfaatkan mencurahkan rasa terima kasih dan doa panjang umur untuk majalah yang sudah menemaniku selama enam tahun ini, bukan cuma sederet doa pendek di ruang komentar. Jadi, mengapa tidak. Belum sampai satu jam kubaca email tersebut, aku langsung menulis.
Kembali ke rutinitas, beberapa saat yang lalu  di hari raya Idul Fitri, aku merenungkan satu hal yang belum sempat kutulis di manapun. Renungan yang sempat terlupa karena rutinitas, dan kebetulan  cocok untuk tema ulang tahun Sepocikopi.
Di sela liburan hari raya itu aku mengunjungi rumah kakak ipar yang berada di desa daerah Babat yang menuju ke arah Jombang. Di Kecamatan Mada. Konon, menurut orang-orang di sana dulu pernah lahir seorang bocah laki-laki bernama Gajah. Gajah itu demikian terkenal, terutama di jaman Majapahit hingga sekarang dengan sebutan Gajah Mada. Gajah yang berasal dari desa Mada.
Entah itu sejarah benar atau tidak, aku tidak terlalu ambil pusing. Ada hal yang membuatku sudah pusing dengan berada di sana. Jangan bayangkan desa itu selalu hijau, berhawa sejuk, air jernih melimpah. Hijau iya sih, tapi hawa sejuk dan air jernih? Ngimpi!
Jalan gang yang penuh kapur dan selalu dilewati sepeda motor atau mobil membuat sesak jalan nafas. Air  yang harus ditampung terlebih dahulu beberapa lama agar tidak keruh, yang membuatku malas untuk sikat gigi. Ini bukan bayangan desa makmur.
Barangkali beberapa ratus tahun yang lalu, saat Gajah menjadi pemuka pemerintahan Majapahit, desa ini maju dan menawan. Masa keemasan yang ditelan oleh waktu. Waktu memakan apapun, kedigjayaan dilahapnya habis.
Ada perjuangan yang mungkin sama seperti perjuangan Gajah dan sumpah Palapanya. Barangkali kubayangkan Alex, Lakhsmi, Ade Rain, Bening dan penancap tonggak Sepocikopi lainnya bersumpah takkan menikmati kenikmatan dunia sampai berhasil membuat bacaan berkelas untuk lesbian nusantara. Namun, perjuangan yang lebih sulit adalah mempertahankan masa emas yang ada. Menyadari hal yang abadi adalah perubahan, satu demi satu perubahan, perombakan, mengikuti animo demand pembaca sambil tetap menjaga mutu tulisan adalah hal unik yang membuat Sepocikopi tetap dibanggakan.
Enam tahun yang lalu, aku hanya penikmat tulisan Sepocikopi, punya banyak waktu lengang tanpa keinginan untuk menjadi salah satu penulis. Memberikan informasi ke sesama lesbian tentang majalah lesbian ini sambil lalu. Enam tahun kemudian, aku menulis ini, merasakan kesabaran Sepocikopi menunggu dan mendidik pembacanya untuk memberi kontribusi mulai hal yang sederhana, tulisan tentang kehidupan sehari-hari, sampai hal yang bersinggungan dengan orang lain seperti bakti sosial SKSurabaya beberapa waktu yang lalu.
Akan tumbuh orang-orang seperti aku, memberi kontribusi di kemudian hari. Terus dan terus, menjaga masa emas ini berlangsung lama. Semoga Sepocikopi diberi kekuatan untuk selalu membuka jalan, memberi inspirasi, pengetahuan, menjadi teman dan jendela untuk masa depan tanpa batas.
Jayalah selalu, Sepocikopi!