Kamis, 24 Oktober 2013

A better person?

6.39 pm
Sept 23rd, 2013
Senin

Banyak orang mengaku menjadi lebih baik setelah melewati kesulitan yang meremukkan hati.

Aku tidak merasa lebih baik.

Aku tidak berubah menjadi sangat relijius, tidak merubah prasangka burukku terhadap Tuhan, tidak berpikir bahwa ini sebuah cambuk untuk memperbaiki diri dan tidak menjadi orang yang lebih baik.

Berulang kali kuulang dalam hati, count your blessing, mengulang kata cewek Katolik yang pernah kugila-gilai beberapa saat lalu. Di saat-saat aku kesulitan mengontrol kemarahan atau rasa putus asa, selalu ada satu atau dua kata miliknya yang bisa kujadikan pegangan meskipun komunikasi dengannya masih terasa sulit untuk hatiku. A blessing in disguise.

Dan aku itu, fisik sekali. Sebagai contoh, sangat membutuhkan pelukan di saat aku berada di titik terendah. Karenanya aku kurang mengandalkan Tuhan.

Saat aku SMP, aku selalu berpikir takkan pernah bisa lulus SMA. Aku punya kakak yang lebih tua tiga tahun. Dulu, dia rajin belajar di meja ruang tamu, terutama mengutak-atik soal Matematika, dan aku kerap mengintip tugas yang dia kerjakan saat orangnya tak ada. Tugas-tugas itu terlalu sulit untukku.

Temanku bilang, nanti kalau SMA pasti bisa mengerjakannya. Bahwa aku perempuan pintar. Mungkin maksudnya adalah aku mesti naik satu demi satu anak tangga untuk berada di tingkat kakakku saat itu.

Di SMA aku tidak pernah mengerjakan tugas Matematika, guru menghadiahiku angka-angka merah di raport tanpa perbaikan. Saat kelas tiga aku menyadari bahwa ini adalah tahun terakhir aku menentukan jurusan pilihan, sebab aku harus berkecimpung selama beberapa tahun di bidang tersebut. Kuliah, maksudku.

Saat masuk dalam jurusan favorit sebagai mahasiswa baru, aku berkembang jadi perempuan sinis dan tidak bahagia. Sampai pada anak tangga ini tak satupun mendapatkan hal-hal yang kuinginkan.

Temanku pernah bilang kalau dia heran dengan orang yang melakukan dan menggeluti hal yang tidak mereka inginkan atau cintai. Kakakku pernah bertanya, kalau saat itu aku boleh memilih melakukan hal yang kuinginkan, apa yang bakal kupilih?

Sejujurnya, aku tidak menginginkan apa-apa. Saat kita berulang kali kecewa, kadang kita menjadi lelah berharap. Sampai aku sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang kuinginkan.

Barang kali benar kata temanku SMP, aku belum sampai di anak tangga itu. Belum sampai pada anak tangga "menjadi orang yang lebih baik pasca cobaan berat". Belum sampai pada anak tangga "mengetahui, mengejar atau mendapatkan hal yang diinginkan". Barang kali yang terakhir karena aku kurang ambisius.

Paling tidak, we have to be steady. Lalu naik pelan-pelan, menikmati proses pembelajaran merunuti anak tangga demi anak tangga.

I'm not a better person, but I learn to be.