Jumat, 31 Oktober 2014

Di Bawah Telapak Kaki Ibu

Tiga puluh tahun lalu, aku lahir karena Ibuku menginginkanku.

Satu malam lalu, seorang teman bercerita tentang anak dua belas tahunnya yang dua kali sudah berusaha ia gugurkan tapi tak berhasil.

Tahun lalu seseorang yang pernah penting bagiku, yang memutuskan untuk menikah, kehilangan bayi pertamanya dalam kandungan setelah beberapa tahun pernikahan tak menginginkan anak. Kabar itu membuatku terpekur, menyadari betapa rentannya ia mengalami depresi, tapi memutuskan dalam hati bahwa aku bukan orang yang tepat untuk menemaninya melewati masa sulit itu.

Beberapa tahun lalu, seorang teman dari mantan menghubungiku. Bertanya padaku, bisakah membantu menggugurkan kandungannya?

Aku meletakkan handphone dan menghembus napas yang tak sadar telah kutahan. Ada berbenih-benih kesedihan, tumbuh merambat hingga menjebol bendungan air mataku. Pesan yang kuterima beberapa hari kemudian di beberapa tahun lalu juga menghancurkan hati. Keinginannya tercapai sudah.

Aku anak perempuan kesekian dari sepasang suami istri yang punya perbedaan usia sebelas tahun, yang berkembang lebih ke arah Bapak daripada Ibu. Kehilangan Bapak seperti gempa yang memorak-porandakan berbagai pondasi. Termasuk pondasi penghormatanku terhadap Ibu. Aku memang jarang sepakat dengan Ibu. Bisa dibilang durhaka.

Aku nyaris menyesali keputusan Ibu untuk mempertahankanku dalam kandungannya.

Seumur hidupku, aku melihat Ibuku hanya melihat kakak laki-lakiku. Seperti Ibu Jawa kebanyakan. Kakak laki-laki satu-satunya yang digadang-gadang menjadi tempatnya manamatkan hari tua. Kecemburuan tak pernah begitu dahsyat sebelum Bapak berpulang. Saat ini, aku sudah hampir lulus dan bekerja dengan gaji yang berlebih bila kupakai sendiri. Ibuku bilang aku akan jadi tulang punggung pengganti Bapak, sementara Ibu sibuk menyapih kakak laki-lakiku dari mimpi-mimpi ideal.

Aku nyaris berpikir bahwa aku lebih baik kehilangan Ibu daripada Bapak, hatiku hancur oleh bayangan Bapak kehilangan perempuan separuh jiwanya.

Lalu aku menapaktilas kembali perjalanan. Betapa aku lahir karena Ibuku menginginkanku. Menginginkanku sampai pada kadar nyawanya tak lagi penting, meskipun dengan bumbu mengira aku bakal jadi anak laki-laki, perdarahan demi perdarahan terjadi pada trimester akhir yang membuat dokter mempertimbangkan untuk mengorbankanku daripada Ibuku demi menekan jumlah kematian Ibu.

Apakah penting mencari tahu alasan seseorang mempertahankan hidup orang lain?

Kalaulah seseorang berterima kasih padaku karena menyelamatkan nyawanya saat dia tenggelam di laut bila pekerjaanku penjaga pantai, apakah ia berterima kasih pada pekerjaanku ataukah ia berterima kasih karena aku memang benar-benar mau menyelamatkan nyawanya?

Kalaulah seseorang berterima kasih padaku karena menyelamatkan nyawanya saat dia sakit bila pekerjaanku dokter, apakah ia berterima kasih pada pekerjaanku ataukah ia berterima kasih karena aku memang benar-benar ingin menyelamatkan nyawanya?

Apakah penting mencari tahu alasan seseorang mengambil nyawa orang lain?

Mengapa dokter lebih memilih mempertahankan Ibu? Karena Ibu bisa memiliki anak lagi? Apa aku semudah itu terganti? Bagaimana orang bisa tahu bahwa  tiga puluh tahun kemudian anak yang akan dikorbankan itu menjadi sandaran letih, menjadi satu orang kebanggaan, menjadi satu mercusuar bagi orang lain?

"Sorry, is all that you can't say
years gone by and still words don't come easily

I love you is all that you can't say
years gone by and still words don't come easily"*

Di saat seperti ini aku ingin mencium kaki Ibuku, ingin menangis dalam pelukannya dan mengucapkan maaf. Meski hanya ingin. Mungkin karena di bawah telapak kaki Ibuku ada surga. Mungkin sebagai rasa terima kasih sudah memutuskan untuk berjuang bersamaku saat kehamilan dan persalinan tiga puluh tahun lalu. Aku mungkin ingin memeluk Ibu karena telah tiga satu tahun ini mencintaiku apa adanya, membiarkanku mencintainya dengan bersikap apa adanya, membiarkanku tumbuh dan belajar mencerna apa yang ada. Aku mungkin ingin memeluk Ibu karena sudah memberiku kesempatan, untuk mengarungi dunia lebih luas dari kakak laki-lakiku. Melangkah setapak demi setapak dalam dunia yang tak sempurna. Atau mungkin aku memeluk Ibuku untuk alasan yang tak ingin kuketahui karena aku hanya ingin memeluk Ibuku.

"I don't know but I believe that some things are meant to be
and that you make a better me"*

Bahwa sekalipun aku hanya melihatnya melihat kakak laki-lakiku, aku tahu pasti, Ibuku 'melihatku' dengan inderanya yang lain.


*Lirik lagu yang dipopulerkan oleh Boyzone