Rabu, 11 April 2012

merokok

merokok. barangkali sebagian besar orang menghujat rokok. bahkan ada yang ribut ingin memasukkannya dalam list narkoba golongan I karena efek adiksinya. tapi aku pribadi, im glad rokok hadir di kehidupan manusia.

saat aku sekolah untuk mendapat titel di depan namaku, aku sering menghadapi kematian orang lain. setiap kematian, aku selalu sibuk menyalahkan diri dan mood menjadi rusak. sering marah. sering kecewa. aku punya solusi saat itu, sebatang rokok untuk suatu kematian. aku menjadi lebih tenang. somehow, it puts me at ease. tapi aku juga tidak berakhir dengan menjadi kereta api beberapa tahun terakhir saat aku menghadapi kematian setiap hari, malah aku berhenti merokok. aku cuma merokok kalau rindu, kalau suasana hati tak tenteram, kalau sedang ingin sendiri, kalau gelisah. dan aku tak suka kopi.

rokok mencegah demensia dan parkinson, berlaku untuk laki-laki. perempuan? tak bermakna, konon katanya karena hormon.

barangkali semua tergantung kebijakan kita sendiri memakai sesuatu. seperti rokok, yang maunya dimasukkan, narkoba golongan I. terlepas betapa rokok menghidupi hajat hidup orang banyak (prostitusi dan narkoba juga menghidupi, lho!), reaksi kimia yang terjalin antara zat-zat dalam rokok dengan neuro transmitter/reseptornya memberi semacam suntikan energi tambahan (kata erna itu cuma sugesti! berani sekali dia membantah aku, hahaha, kuhajar dengan teori nikotin dan reseptornya di tubuh kita, sebagian yang dijelaskan seorang guru besar sebuah perguruan tinggi yang pernah kudengar materi kuliahnya). kayak minum kopi, orang yang biasa minum kopi maka sehari tak minum akan lemas (sialnya sebagian besar teman kerjaku adalah peminum kopi, mereka yang berhenti cuma untuk alasan hamil), tak bersemangat, dan sebagainya. efek palpitasi akan memicu kita untuk bergerak dan bergerak, mirip ecstacy/ekstasi. godek terus, yuk, oom erna. hehehe, teori asal-asalan. aku? minum kopi segelas dan berakhir kalau tidak semaput karena palpitasi atau kebanyakan gerak, ya karena migrain (padahal dalam obat migrainku ada caffein nya, aneh bukan?).

ya sudahlah, tampaknya semakin malam semakin ngelantur. erna sibuk nggebet mantan dan aku mantengin komputer dengan mouse yang sudah lecek punya kantornya. rupanya kantor erna ini punya satpam baru: dia. hahaha. ngekos kok di kantor.

Selasa, 03 April 2012

Namanya Ayu Utami

Jadi aku di sini, setengah jam sebelum hari ulang tahunku berakhir, setelah curhat berdarah-darah pada Alex kenapa aku tidak bisa menulis lagi dan sehabis teman-temanku plus partner mengadakan konferensi meja kotak di sebuah kafe di bilangan Hayam Wuruk membahas atau berdebat seru tentang impian. Aku tentu tidak ikut ambil bagian dalam perdebatan itu karena, alasan sederhana, I don't do dream.

Demi memuluskan langkah partner mengikuti SepociKopi 30 Day Challenge, aku duduk berjam-jam, berganti-ganti posisi kaki dan tubuh, Bilangan Fu di tanganku. Buku setebal 500 atau 600 halaman itu kubalik lembar demi lembar, bisa saja kuselesaikan seharian tapi aku bukan pengangguran, dengan jadwal rutinku yang padat bin membosankan, jumlah halaman itu dalam 7 hari membuatku ingin mencekik biang kerok pencetus tantangan ini.

Dan dengan kurang ajar, si biang kerok itu juga tadi menyuruhku berhenti menulis. "Saranku? Berhenti nulis," itu kata-katanya kalau aku perlu mereka ulang lewat chatting.

Jengkel dengan chatting, yang teks maupun yang denger (teman-teman yang konferensi tadi masih berapi-api membahas mimpi, mereka duduk dan memesan ini-itu padahal aku tidak sedang mentraktir mereka), aku tenggelam pada huruf demi huruf yang dilontarkan Ayu Utami dalam buku bersampul cokelat itu.

Dari pengarang yang menyebut diri sendiri Katolik nggak beres inilah, aku pertama kali bersinggungan dengan dua orang penggemar buku di SMA ku. Yang satu guru Bahasa Indonesia, yang satu cowok IPA3 yang sama-sama kelas 3. Lewat novel berjudul awal Laila tak Mampir ke New York, guruku meracuniku yang memang tidak suka sains tapi terjebak di kelas IPA, dan membuatku menjalani masa kritis agama dan masa negativisme (yang terakhir sampai sekarang kualami).

Ayu Utami juga yang membuatku sempat suka pada seorang adik kelas, Katolik dengan latar belakang keluarga Katolik yang Jawa banget sehingga nyaris Muslim, pembaca buku, pengamat dan pengkritisi hal kecil-kecil (tak heran kacamata dia tebal) dan pengkoleksi lonceng sapi. Ya, koleksi lonceng sapi. Dalam kamarnya ada rak khusus buku-buku perbandingan agama dan primbon. Percaya Tuhan ahli berhitung sehingga bersuami pekerja negara yang kerjanya mengawasi orang menghitung, itupun perhitungan weton mereka sudah dihitung lengkap sampai tanggal baik untuk bikin anak, kali. Di kacamataku, dia perempuan yang mirip Ayu Utami, atau barangkali aku mengira Ayu Utami itu seperti dia.

Kalau aku harus menyebut satu nama pengarang favorit, sudah pasti jawabannya Ayu Utami. Jika aku ditanya kenapa? Aku akan menjawab karena dia menulis buku seperti seorang guru menjelaskan sesuatu ke muridnya. Bagaimana seorang guru menjelaskan ke muridnya? Guru akan mengambil contoh-contoh sederhana yang mirip cara kerja/sistem/fungsinya dengan hal yang dimaksud. Sebagai contoh, bagaimana anda menjelaskan fungsi lambung untuk mencerna makanan ke anak kecil? Anda cukup mengumpamakan dengan blender. Nah, Ayu Utami ini menjembatani pikiran dia yang bizzare dengan cara perumpamaan itu sehingga kita nyambung dengan apa yang ditulisnya. Bahasannya berat, tapi dia balut ringan, nakal, kritis dan menimbulkan rasa curiga (dan ingin tahu). Ya itu yang kusuka dari Ayu Utami, nggak njlimet, meski penuh negasi dan sering kontradiktif. Yang belakangan itu aku curiga memang harus dimiliki orang-orang postmo.

Jangan mengaku penggemar buku kalau tidak pernah membaca karya Ayu Utami. Aku tidak membaca Harry Potter (karena hidup di Mars selama 15 tahun) atau seri Twilight yang penuh adegan banjir darah dan kekerasan dengan vampir kulit kecoklatan macho dan serigala pucat yang keemasan diterpa sinar matahari. Tidak, aku tidak membaca mereka dan aku tak hafal nama pengarangnya. Tapi kalau kamu tanya siapa pengarang dwilogi Saman/Larung, aku yang akan menjawab pertama kali: namanya Ayu Utami.