Selasa, 03 April 2012

Namanya Ayu Utami

Jadi aku di sini, setengah jam sebelum hari ulang tahunku berakhir, setelah curhat berdarah-darah pada Alex kenapa aku tidak bisa menulis lagi dan sehabis teman-temanku plus partner mengadakan konferensi meja kotak di sebuah kafe di bilangan Hayam Wuruk membahas atau berdebat seru tentang impian. Aku tentu tidak ikut ambil bagian dalam perdebatan itu karena, alasan sederhana, I don't do dream.

Demi memuluskan langkah partner mengikuti SepociKopi 30 Day Challenge, aku duduk berjam-jam, berganti-ganti posisi kaki dan tubuh, Bilangan Fu di tanganku. Buku setebal 500 atau 600 halaman itu kubalik lembar demi lembar, bisa saja kuselesaikan seharian tapi aku bukan pengangguran, dengan jadwal rutinku yang padat bin membosankan, jumlah halaman itu dalam 7 hari membuatku ingin mencekik biang kerok pencetus tantangan ini.

Dan dengan kurang ajar, si biang kerok itu juga tadi menyuruhku berhenti menulis. "Saranku? Berhenti nulis," itu kata-katanya kalau aku perlu mereka ulang lewat chatting.

Jengkel dengan chatting, yang teks maupun yang denger (teman-teman yang konferensi tadi masih berapi-api membahas mimpi, mereka duduk dan memesan ini-itu padahal aku tidak sedang mentraktir mereka), aku tenggelam pada huruf demi huruf yang dilontarkan Ayu Utami dalam buku bersampul cokelat itu.

Dari pengarang yang menyebut diri sendiri Katolik nggak beres inilah, aku pertama kali bersinggungan dengan dua orang penggemar buku di SMA ku. Yang satu guru Bahasa Indonesia, yang satu cowok IPA3 yang sama-sama kelas 3. Lewat novel berjudul awal Laila tak Mampir ke New York, guruku meracuniku yang memang tidak suka sains tapi terjebak di kelas IPA, dan membuatku menjalani masa kritis agama dan masa negativisme (yang terakhir sampai sekarang kualami).

Ayu Utami juga yang membuatku sempat suka pada seorang adik kelas, Katolik dengan latar belakang keluarga Katolik yang Jawa banget sehingga nyaris Muslim, pembaca buku, pengamat dan pengkritisi hal kecil-kecil (tak heran kacamata dia tebal) dan pengkoleksi lonceng sapi. Ya, koleksi lonceng sapi. Dalam kamarnya ada rak khusus buku-buku perbandingan agama dan primbon. Percaya Tuhan ahli berhitung sehingga bersuami pekerja negara yang kerjanya mengawasi orang menghitung, itupun perhitungan weton mereka sudah dihitung lengkap sampai tanggal baik untuk bikin anak, kali. Di kacamataku, dia perempuan yang mirip Ayu Utami, atau barangkali aku mengira Ayu Utami itu seperti dia.

Kalau aku harus menyebut satu nama pengarang favorit, sudah pasti jawabannya Ayu Utami. Jika aku ditanya kenapa? Aku akan menjawab karena dia menulis buku seperti seorang guru menjelaskan sesuatu ke muridnya. Bagaimana seorang guru menjelaskan ke muridnya? Guru akan mengambil contoh-contoh sederhana yang mirip cara kerja/sistem/fungsinya dengan hal yang dimaksud. Sebagai contoh, bagaimana anda menjelaskan fungsi lambung untuk mencerna makanan ke anak kecil? Anda cukup mengumpamakan dengan blender. Nah, Ayu Utami ini menjembatani pikiran dia yang bizzare dengan cara perumpamaan itu sehingga kita nyambung dengan apa yang ditulisnya. Bahasannya berat, tapi dia balut ringan, nakal, kritis dan menimbulkan rasa curiga (dan ingin tahu). Ya itu yang kusuka dari Ayu Utami, nggak njlimet, meski penuh negasi dan sering kontradiktif. Yang belakangan itu aku curiga memang harus dimiliki orang-orang postmo.

Jangan mengaku penggemar buku kalau tidak pernah membaca karya Ayu Utami. Aku tidak membaca Harry Potter (karena hidup di Mars selama 15 tahun) atau seri Twilight yang penuh adegan banjir darah dan kekerasan dengan vampir kulit kecoklatan macho dan serigala pucat yang keemasan diterpa sinar matahari. Tidak, aku tidak membaca mereka dan aku tak hafal nama pengarangnya. Tapi kalau kamu tanya siapa pengarang dwilogi Saman/Larung, aku yang akan menjawab pertama kali: namanya Ayu Utami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar