Sabtu, 22 Agustus 2015

Posting Pungkasan

Terima kasih untuk 11 tahun bersama, blogspot. Ini tulisan terakhirku di blog ini. Terima kasih sudah menemani belajar menulis. All good things come to an end indeed.

Senin, 25 Mei 2015

Kepada: 2009

Message:
"I wanted you to fight for me
I wanted you to chase after me
But instead you just watched me leave"

Membaca pesan yang kuterima dan aku tersenyum sedih.

Katakanlah padaku sekali lagi, cinta saja itu cukup. Akan kucoba meyakinkan diri, bahkan dalam mimpi akan kuulangi. Bahwa dengan cinta saja aku telah punya segala yang kuimpikan, dari banyak hal yang kuperjuangkan sekian tahun aku hidup.

Katakan bahwa cintaku padamu sudah cukup untuk menghidupi hatiku memintal benang demi benang kehidupan. Hingga aku tak perlu merasa pilu saat di sana kau bisa memeluk orang lain sedang aku sibuk memetakan rasa. Dan aku tak usah tersedu saat memikirkanmu sedang di sana kau memikirkannya.

Katakan padaku ada yang lebih egois dari pada cinta. Katakan bahwa ada yang lebih merusak diri dari keinginan untuk memiliki tanpa kemampuan mengendali diri. Katakanlah bahwa aku duduk di singgasana yang benar, memberikan kekuasaan padamu untuk merajalela mencuri dan sekali lagi mencuri dariku. Curilah cintaku padamu dariku, bawa ia dalam peti agar bisa ikut ke manapun kau pergi. Bawa saja jasad yang tak ingin kulihat lagi.

Oh kekasih, seandainya kau tahu betapa kerasnya aku mencoba. Begitu naif di usia dua lima dan kau dogmakan padaku rasa yang ingin kau rasakan mengenai rasaku padamu. Sedang masing-masing kita memiliki rabun jauh yang beda, bagaimana bisa kau paksakan aku melihat apa yang kau lihat? Kau bilang cinta saja cukup untuk kita, sungguhkah itu cukup untukku?

Kalau toh cintaku saja cukup buatmu, mengapa kau sibuk menghidupi cinta yang lain?

Sebelum aku terjatuh makin dalam, katakan padaku sekali lagi bahwa cinta saja itu cukup. Biar aku meresapi tiap kata yang kau pilih dan aku memang sudah kepalang tanggung. Aku akan menangis untukmu, merenungi permintaanmu yang mustahil, akhirnya aku memutuskan tak mampu. Caramu terlalu sulit untukku.

Katakanlah bahwa aku tak pernah bahkan untuk mencoba berjuang untukmu. Aku takkan pernah membantahmu. Bagaimana bisa aku membantah dengan lidah kelu?

Reply:
"Because, before you, fall in love at the first sight has never felt as good as the first time. I am not your first. You are my sudden."

Jumat, 06 Maret 2015

A Necessary Evil

Jika gol kita untuk nulis blog adalah menjadi populer, maka kita tak mungkin hanya menulis satu bulan sekali.

Itu tugas berat kalau dipangku satu orang saja. Sesungguhnya aku tidak tahu bagaimana kiat untuk mempopulerkan blog, tapi mungkin itu berkaitan dengan menulis rutin, rutin mengunjungi blog-blog lain dan kasih komentar, atau menaruh postingan-postingan yang ilegal macam nge-crack game atau mungkin cara yang lain yang terlewatkan olehku.

Tak terbersit pikiran untuk jadi terkenal. Blog hanyalah tempatku belajar menulis dan merenung. Renungan yang seringkali tak bisa diungkap dengan kata-kata. Yang kadangkala saat membacanya kembali aku sekali lagi tak mengerti apa maksudku sendiri.

Aku cukup muak dengan orang yang menganggapku tahu segalanya. Yang menganggapku bijaksana dan itu membuatnya bisa bersikap seperti anak kecil kepadaku. Aku tak suka anak kecil. Aku tak suka orang yang menuntutku mencintainya apa adanya karena ia merasa bersikap jujur. Aku kadang tak mengerti mengapa orang tak mengerti bahwa manusia itu tak sempurna. Aku juga tak mengerti mengapa aku harus merasa ingin orang lain berbuat tanpa cela.

Sungguhpun mencintai seseorang apa adanya harus punya batas-batas.

Jika gol kita untuk hidup adalah disukai banyak orang, maka kita tak mungkin mengedepankan ego kita di atas orang lain.

Tapi aku tak hidup untuk disukai banyak orang. Dan banyak hal jahat memang mesti dilakukan dalam hidup ini supaya kita tidak menyesal.

Kamis, 12 Februari 2015

Berita Duka di Pagi Hari

"Who would've thought forever can be severed by the sharp knife of a short life?"

Pagi ini aku termangu-mangu, teman seangkatan semasa sekolah meninggal setelah melahirkan anaknya yang ketiga. Perdarahan pasca operasi Caesar karena plasenta akreta. Dada terasa sesak mendengar kabar yang begitu mengejutkan.

Semalam saat mendengar kabar dia kritis di rumah sakit dekat rumah, aku dan Retti langsung berkunjung ke ICUnya. Melihat keadaan sakitnya yang berat, terbersit sesal tentang pemikiran bahwa ia takkan bertahan lama. Sebab orang bilang, supaya doa terkabul ia harus percaya bahwa doanya terkabul. Aku sempat tak percaya.

Kalau aku mesti membandingkan hidup seseorang dengan manfaatnya, aku akan tergelitik untuk melihat manfaatku di depan teman-teman kuliah/kerja. Barangkali temanku yang meninggal ini akan dinilai lebih bermanfaat hidup daripada aku. Temanku ini punya suami, punya tiga anak, punya pekerjaan yang bermanfaat (dia dokter umum UGD di RS BDH Surabaya), aktif berorganisasi, bahasa Inggris casciscus, saat sekolah dia juga punya nilai yang jauh lebih baik dariku.

Apakah yang demikian itu bisa menjadi tolak ukur ataukah memang demikian itu benar menjadi tolak ukur bagi Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya?

"Gather up your tears, keep 'em in your pocket
Save 'em for a time when you're really gonna need 'em, oh
oh well
I've had just enough time"

Saat memikirkan posisi temanku ini dengan posisi ibuku (dengan plasenta previa) lebih dari tiga puluh tahun lalu, sudah pasti ia dan ibuku siap memperjuangkan anaknya sampai titik darah penghabisan. Bagaimana Tuhan menentukan tiga puluh tahun lalu ibu dan anak selamat, dan tiga puluh tahun kemudian dengan alat medis dan ilmu kedokteran yang lebih baik tak bisa menyambung nyawa seorang dokter di meja operasi adalah misteri yang tidak akan pernah dapat dipecahkan. Garis hidup tidak ditulis kita sendiri, namun kita diberikan kebebasan untuk memilih, dua hal ini tentu kontradiktif namun aku percaya itu karena kebesaran Tuhan: Tuhan dapat bercampur tangan dalam urusan kita tanpa kita tahu/sadari/mengerti.

Begitu perkasanya Tuhan.

Mungkin karena meninggalnya temanku ini bisa menjadi pembelajaran yang baik buatku dan orang lain, manfaat ini punya keutamaan yang mengalahkan seluruh manfaat yang kusebut di atas dalam hidupnya, sehingga mungkin kelebihan manfaatku dari temanku ini adalah karena aku pelajar. Aku harus diingatkan bahwa kematian itu sesungguhnya begitu dekat denganku. Dan betapa cepat seseorang yang sebelumnya begitu dekat dengan kita berubah menjadi masa lalu, menjadi hal yang paling jauh dari kita.

Akhirnya aku menghapus airmata dan yakin, menurut keyakinan temanku ini hari Jumat adalah hari yang baik dan temanku ini meninggal dalam syahid. Aku yakin bahwasanya tempat yang terbaik untuknya saat ini adalah surga.

Godspeed, my dear friend. See you on the other side.

Rabu, 14 Januari 2015

HP Baru Hening

"Januari, Januari yang biru
Asmaramu, asmaraku membisu."

Bukan sekali saja antara aku dan Hening mengalami pasang-surut percintaan. Kalau sudah kesulitan mencari jalan keluar, biasanya  kami memberi jarak. Memberi waktu sendiri. Biasanya yang lebih memiliki emosi negatif adalah aku. Bersungut-sungut dan marah.

Malam itu juga. Perang pecah antara aku dan Hening saat dia pulang ke rumah seperti biasa di Jumat sore, tiba-tiba dia sudah memiliki sebuah handphone (HP) android terbaru.
Seingatku kami sedang berhemat untuk membayar perbaikan rumah yang ingin kami alihkan menjadi perpustakaan. Tentu kehadiran gadget barunya membuat keningku berkerut. Apalagi melihat gelagatnya yang mencurigakan ketika aku masuk kamar, di atas tempat tidur dia sedang asik membaca sesuatu dari HP barunya lalu buru-buru mengetuk lembut layar saat melihatku masuk, kecurigaanku menjadi semakin runcing tatkala dia menjauhkan layar dari jarak bacaku.

"Itu HP siapa?"
"HP-ku lah, tadi aku beli di WTC."
"Lho, kan kita lagi banyak pengeluaran yang lebih penting. HP lamamu mana?"
"Tadi BBku rusak kena hujan."
"Kan masih ada yang satunya."
"Satunya gak bisa buat BBM-an."
"Lha terus, itu beli berapa?"
Hening menyebutkan rupiah yang bisa membuat kami punya kanopi baru untuk perbaikan rumah.
Aku mendengus kesal.
"Aku gak beli pake uang tabungan, kok," Hening menenangkanku.
"Terus, pake uang apa?"
"Dibelikan. Cuma tongsis dan pelindung HP ini yang beli sendiri."
Aku meliriknya. "Dibelikan siapa?"
Hening tersenyum simpul. "Rahasia," dia menjawab dengan jawaban yang jadi kata favoritku untuk menggodanya. Sayangnya aku sedang tidak mood digoda.

Aku kembali diam dan memperhatikannya mengutak-atik HP baru. Karena lama-lama aku bosan, akhirnya aku keluar dari kamar dan membaca koran di ruang tamu. Suara notifikasi BBM Hening yang berulang-ulang menggema dari dalam kamar membuatku ingin melihat notifikasi milikku sendiri, HP kuletakkan terbalik sebelumnya karena aku tidak mau terganggu oleh notifikasi yang muncul di layar saat sedang membaca.

Saat kuperiksa pembaruan pada BBM, status yang saling menimpali antara Hening dan seorang teman membuat kerutan di keningku semakin dalam. Apa-apaan ini? Batinku.
Di saat yang sama, Hening ke luar dari kamar dan berjalan menuju kamar mandi. Segera kumanfaatkan kesempatan ini untuk mencari bukti kecurigaanku melalui HP baru Hening.
Hambatan pertama kulalui dengan sukses, password di BB lamanya tetap dia gunakan untuk HP baru ini. Tantangan selanjutnya adalah di mana dia meletakkan BBM. Aku tidak pernah punya HP android, butuh waktu untuk menyesuaikan diri tapi aku tidak punya waktu untuk menyesuaikan diri. Aku harus tahu apa yang Hening dan teman kami bicarakan, dan kenapa demikian mencurigakan. Kusentuh gambar berbentuk rumah beratap dan HP Hening layarnya tak bergeming. Kusentuh lagi, tetap tak bereaksi. Kusentuh icon lain yang tampak di layar, yang muncul malah membuatku bingung. Kusentuh yang lain yang keluar malah video.

"Sayang?" Hening mengagetkanku. Wajahku pasi bagai anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri kue dalam toples. Hening terdiam di pintu.
"Kamu ngobrol apa sama Niken?" Tanyaku sambil meletakkan HP Hening yang baru.
Hening membisu, diraihnya HP supaya jauh dari jangkauanku. Bibirnya memaksakan senyum. "Sayang lagi PMS, ya? Kok hari ini moodnya jelek banget?" Hening mengalihkan topik dengan usaha yang aneh. Tentu saja aku semakin ngamuk.
"PMS? Kamu ngomong apa, sih, kok mendadak ada sangkut pautnya sama PMS? Nggak lucu, tau." Kerutan di keningku mungkin sudah menembus ke dalam otak, karena menahan amarah. Rasa capek setelah kerja ditambah gerak-gerik Hening yang mencurigakan hari ini membuat kepalaku mendadak nyeri.
"Aku ngobrol sama Niken tentang Bali. Kamu tahu kan kalau Niken pernah tinggal di Bali, jadi aku nanya-nanya," jawab Hening.
Dan aku tahu kalau mantanmu juga pernah tinggal di Bali dan pernah membelikanmu HP, tambahku dalam hati. "Emang kenapa dengan Bali?" Kejarku.
Hening menatapku. "Kalau aku bilang rahasia, kamu pasti marah...lho, yang, kamu mau ke mana? Aku belum selesai ngomong, nih..."

Aku tidak mempedulikannya. Aku benar-benar marah dan tak sudi mendengar penjelasannya. Kubanting pintu dan segera berjalan ke luar dari rumah. Mendadak satu atap dengannya menjadi begitu menyiksaku. Perempuan yang sudah sekian lama bersamaku mendadak menyimpan rahasia dengan terang-terangan. Apa yang ingin dia lakukan dengan rahasia itu? Apakah tahunan yang kami bagi sudah menunjukkan jalan buntu? Atau dia sudah kelelahan menekuni setapak yang tak jua mengarah pada kepastian? Tuhan tolong...

Aku tak tahu sudah berapa lama melangkah, tapi jalanan ini kuhapal betul. Di pojok sana ada rumah mungil dan tua milik sepasang suami-istri yang tinggal bersama cucu laki-lakinya. Mereka keluarga minoritas di kampung kami. Sang istri pernah membantu ibuku merawat bapak semasa beliau masih hidup. Mantan suster yang dulu membantu sebuah rumah sakit di kota, aku tidak tahu bagaimana ceritanya dia memiliki suami dan anak. Anak dan istri anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan, hanya tersisa satu cucu laki-laki yang mereka besarkan dengan penuh cinta.
Pintu rumah pojokan itu terbuka, seorang perempuan duduk bercengkerama dengan tetangga yang kebetulan lewat. Dia mengenaliku dan memaksaku mampir karena rindu. Atau karena butuh teman untuk melewatkan waktu menunggu cucu laki-lakinya pulang.

"Masuk, non. Ya ampun.. udah gede, ya, sekarang. Tambah cantik," katanya memuji.
Mau tak mau aku menyunggingkan senyum. Karena: satu, masih ada rasa terima kasih yang tak mungkin terbayar kepada perempuan ini dan, dua, kebetulan aku sangat menyukai teh buatannya, senang rasanya bisa mencicipinya kembali. Tak mengapalah aku bertamu sebentar, meski perasaan sedang lebam.
"Sekarang kerja di mana?" Tanyanya setelah menyajikan teh kebanggaannya. Aku menjawab pertanyaannya sambil buru-buru meminum teh paling enak sedunia itu. Kalau beruntung, aku bisa nambah tiga atau empat gelas lagi.
"Wah, sudah sukses, ya, sekarang?"
Aku tersenyum kecut. Pekerjaan ada tapi ada mimpi yang mesti dihidupi juga. Mimpi ini cukup MANTAP, kepanjangan MANTAP adalah meMAkaN TABungan. Dipaksa dikit lah singkatannya. Jadi suksesnya masih tertunda. Demi mimpi.

Perempuan itu bercerita tentang masa lalu. Cerita yang sudah kutahu. Sesekali kualihkan pandangan untuk mengamati pernak-pernik yang ada dalam rumahnya. Pohon natal yang masih terpajang, timba yang diletakkan di tengah ruang tamu untuk menampung air hujan, terisi sebagian oleh hujan tadi pagi dan aku yakin perempuan ini sedang menunggu cucunya untuk membantunya membuang isi timba.

Lama kemudian, cucu laki-laki perempuan itu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Kudengarkan bagaimana dia menegur cucunya dengan penuh kasih karena pulang terlalu malam. Aku tersenyum dan teringat bapak. Lalu teringat Hening. Apa Hening juga sedang menungguku pulang dengan cemas?

Aku meraba saku celana dan bersyukur punya kebiasaan mengantongi uang dalam jumlah cukup. Persiapan supaya tidak kebingungan kalau suatu saat lupa membawa dompet. Aku ingat bahwa Hening dan aku sedang berhemat, tapi bila Hening boleh mengeluarkan uang untuk membeli tongsis dan pelindung HP barunya, kenapa aku tidak boleh mengeluarkan uang untuk tujuan yang mulia? Aku beranjak pamit dan menyisipkan sejumlah uang ke tangan perempuan itu. Terima kasih untuk teh yang sejuta kali lebih hangat dari teh botol favoritku. Suara Andi Meriem Mattalatta yang menyenandungkan Januari yang Biru semakin lamat-lamat di telingaku saat berjalan menjauhi rumah pojok. Aku pulang dan bersiap menghadapi tiap kemungkinan yang bisa terjadi antara aku dan Hening.

Rumah begitu sunyi saat aku kembali. Dalam kegelapan kulihat Hening tertidur di sofa ruang tamu. Aku masuk tanpa suara. Setidaknya aku berusaha begitu. Tapi Hening lebih hening dariku, lampu mendadak menyala dan dia sudah berdiri di belakangku.

Dia meletakkan HP barunya, kini layarnya dalam jarak bacaku. Kubaca banner bertulis SepociKopi dalam Google Chrome di HP barunya.
"HP ini dibelikan bosku untuk hadiah akhir tahun. Semua staff juga diberi," Hening membuka pembicaraan. "Kamu ingat kamu pernah bilang pingin liburan kayak salah satu penulis dalam SepociKopi di Bali?" Hening menatapku. Keletihan dapat kubaca di wajahnya.
Aku mengangguk. Aku juga ingat kalau penulis itu sekarang naik pangkat jadi pemimpin redaksi SepociKopi.
"Kamu juga ingat kalau kamu pingin ngerasain liburan ala 'Glamping'?"
Aku mengangguk lagi mendengar pertanyaan Hening.
"Niken dapat diskonan dari koleganya yang masih di Bali. Dan dia menawarkannya padaku. Untuk hadiah buat kamu, kamu tahu kan kalau Niken itu selalu ndengerin apa yang kamu omongin? Termasuk keinginanmu untuk liburan ke sini, ke sana, ke mana-mana. Aku harus membagi duitku jadi lima tiap bulan untuk: pertama, kalau kamu mendadak ngidam makanan yang aneh-aneh dan nggak murah..." Aku mendengar ceramah keuangan Hening dengan takjub. Itu bukan kali pertama aku mendengar ceramah keuangannya, tapi ini untuk pertama kalinya kudengar dia dengan terang-terangan mengatakan menabung untuk menyenangkanku. Aku menunggunya menyelesaikan unek-unek yang terpendam.
"Dan kita baru bisa liburan 2017, aku gak bisa ambil diskonan Niken. Tabunganku kurang," pungkas Hening.
"Oke."
"Oke?" Hening heran. Biasanya aku tak sabaran. Kalau mau liburan, ya, ayuk liburan, gak usah nunggu-nunggu, keburu mati.
"Jadi gapapa 2017?"
"Iya, gapapa." Aku mengambil HP baru Hening. Tersenyum pada tulisan dalam layar. Kudengar Hening mendengus lega.
"Tahu enggak, SepociKopi ultah ke delapan tahun ini," kata Hening saat ikut menatap layar.
Aku sudah tahu, kataku dalam hati, aku mengikuti SepociKopi sejak tahun pertama sampai bertahun-tahun kemudian. SepociKopi pernah memuat surat-suratku dan menjadi teman di masa sulit yang pernah kualami. Menjadi sumber ide bacaan, juga laksana tepukan lembut pada bahu untuk mengingatkan agar berjalan terus menuju masa depan.
"SepociKopi itu berawal dari pasangan lesbian, lho, yang. Seperti kita," Hening memberikan informasi yang tak tercatat di tulisan dalam 'Sejarah Kami'.
"Kalau kubilang gak ada pasangan yang seperti pasangan pendiri SepociKopi itu, apa kamu percaya, yang?" Tanyaku sambil mengulum senyum. Tuhan menciptakan satu ide yang unik di kepala tiap manusia. Ide itu bisa beranak-pinak atau mati. Ide itu unik dan terjaga di kepala Alex dan Lakhsmi.
Hening menatapku tak mengerti. Aku juga tak mengerti apa yang baru saja terpercik dalam pikiranku. Hal itu tak menggangguku. Yang lebih mengganggu adalah suara Andi Meriem Mattalatta yang samar-samar kudengar kembali dengan misterius.

"Januari, Januari yang biru
Asmaramu, asmaraku membisu."

Aku tersenyum dalam pelukan Hening. Januari adalah kali pertama aku mengenal SepociKopi. Januari adalah kali pertama aku dan Hening kembali bertemu setelah berpisah untuk sementara. Ada begitu banyak kisah di Bulan Januari. Dalam hati aku berjanji, akan membuat Januari-Januari berikutnya menjadi biru yang menghangatkan banyak hati, seperti yang telah diberikan SepociKopi.

Selamat ulang tahun SepociKopi. Selamat bertugas dewan redaksi yang baru.