Selasa, 20 November 2012

(too) long weekend

meski liburanku tidak panjang di wiken kemarin (libur mulai kamis sampai minggu), di mana aku dapat jatah shift 2x karena rencana cutiku ke Semarang, aku  masih bisa memanfaatkan beberapa hari kosong untuk berkumpul dengan teman-teman lama. kali ini dengan Baweller's, grup waktu kuliah semester-semester akhirku. yang bisa hadir N, Q, I dan G. semuanya datang single, dengan anak dan tanpa suami, kecuali aku dan I karena sama-sama belum nikah.

aku tidak merasa heran ketika mereka datang tanpa suami. G suaminya seorang dokter spesialis di papua, Q punya suami angkatan laut yang sedang berlayar, sedangkan N aku tidak menanyakan alasannya. awalnya kupikir F, suami N, sibuk. setahuku F adalah direktur rumah sakit (RS) milik keluarga N. belakangan kutahu bahwa N-lah direktur sekarang, sedang F tak tahu ke mana rimbanya. menurut Q, F membuka sebuah klinik di daerah surabaya barat.

sampai aku tak sengaja mencetuskan pertanyaan yang dijawab oleh tatapan mata N seakan bertanya balik, "lho, mbak, kamu belum tahu ceritanya, ta?" oke, aku mengendus sesuatu yang salah di sini, dan aku tidak tahu itu apa. aku manusia yang jarang bergosip, meskipun tak sejarang dulu. tapi, tetap saja aku tidak tahu apa yang terjadi antara si N dan F.

ternyata, oh, ternyata, F menghamili salah satu bidan RS si N. bukan main kesalnya aku sama si F, dari belum nikah sampai sekarang punya anak satu kelakuan selingkuhnya masih gak berubah. pembicaraan berlanjut tentang cerita bagaimana N tahu F selingkuh, digerebek oleh keluarga N di sebuah hotel bersama seorang perempuan. bukannya minta maaf, F malah bilang ingin menikahi perempuan itu.

gosip berlanjut di bbm, aku dengan andhin yang merupakan teman satu angkatan si F. andhin mengamini kebejatan si F.

ingatanku kembali pada beberapa tahun lalu saat aku dan N shift bersama, saat N dan F pacaran, lalu F selingkuh dengan salah satu barista kafe milik anak seorang profesor mata di surabaya. aku menulis sebuah status di facebook tentang N yang di like oleh banyak temannya. tapi N memang orang yang jauh dari bergosip, sasaran empuk orang macam F. rupanya F menyalahgunakan kepercayaan N hingga ke akarakarnya. pernikahan mereka berakhir dan F ditendang keluar dari 'kerajaan' N.

hari lain di liburanku, kuhabiskan dengan migren setiap hari. sudah dua bulan ini migren menyiksaku, dan kemungkinan besar menjadi kronik. tapi, rasanya kok tidak etis ya menulis tentang penyakitku di sini. jadi, kuakhiri sampai sini aja.

wiken ini aku akan ke Semarang, kembali menikmati kereta Rajawali setelah sekian tahun. apa kabar Semarang, ya? gak sabar kembali memetakan pemandangannya.

Semarang, i'm coming!

Rabu, 24 Oktober 2012

"kapan nikah?"

Beberapa hari ini, pertanyaan tentang "kapan nikah?" sedang jadi topik hangat di sekelilingku. Tentunya pertanyaan itu ditujukan padaku. Bahkan kakak kelas yang sama belum menikah juga menanyakannya, kadang kuputar dengan balik tersenyum dan menggoda. Atau hanya kuangkat alis kiri sambil ketawa ala mak lampir, tak berusaha keras mengalihkan topik.

Hampir seluruh teman yang menanyaiku itu berdecak penasaran, laki-laki mana yang akan mendampingiku kelak. Barangkali mereka paham, setiap aku naksir seorang laki-laki maka 90% kecenganku itu sudah beristri. Sengaja. Atau tidak sengaja. Sering dituduh asal tunjuk yang oom-oom, yang sedikit tambun dan atau yang di lengannya duduk seorang balita, saat aku ditanya tentang tipe laki-laki yang kusukai. Aku tak suka berkelit dengan berbohong, aku benar-benar suka laki-laki perut buncit untuk dipeluk.

Sering kali aku bersahabat dengan perempuan yang punya percik-percik lesbian di tatapannya. Menggodaku, "pasti kamu suka aku, makanya kamu betah gak nikah," atau, "kamu naksir aku, kan?" yang kubalas dengan sama genitnya. Dan tersenyum.

Perempuan punya berbagai macam senyum, sering memilih tersenyum pahit saat marah atau kecewa. Kita bisa berlindung dari godaan pertanyaan, "kapan nikah?" dengan senyum. Tak perlu mematahkan topik dengan berlagak, "awas ada UFO," atau lari tunggang langgang. Tak perlu membalas dengan pilihan kata mulai yang pedas cabe 1 biji sampai 7 biji. Barangkali tak perlu berkelit atau berbohong, kenali lawan bicara dan bila tak bisa maka tersenyum saja. Mulai sekarang berlatihlah tersenyum berbagai ekspresi, senyum murung, senyum lega, senyum menantang, senyum pas-pasan dan sebagainya.

Sebagai contoh, bila oom yang keren menanyakan, "kapan nikah?" segera beri senyum lega sambil ditambah bumbu, "saya kira oom nggak tau saya single. Sekarang tahu, 'kan?" dan kedip-kedipkan kelopak mata. Atau kakak kelas yang menyebalkan bertanya, "kapan nikah?" beri senyum murung seakan baru ditinggal mati seseorang penting, bila perlu titikkan airmata agar dia keki. Paling tidak untuk jangka waktu setahun dia tidak akan mengganggumu.

Sedikit repot kalau menikah adalah tuntutan orang tua. Beberapa orang beruntung punya orang tua yang berpikiran terbuka, sebagian lain beruntung dengan orang tua yang prihatin anaknya tak laku-laku. Mulai pasang iklan, "dicari: suami," ke tetangga, teman arisan sampai saudara-saudara jauh bahkan minta ke teman perempuan yang sering dibawa anaknya ke rumah (yang ternyata pacar anaknya) untuk mencarikan calon. Belum lagi bila permintaan cepat nikah itu dilakukan orang tua sambil menangis, menyertakan penyakit ini-itu atau usia. Lantas, kita mau berkelit apa?

Senyum dulu, kuberi tahu sebuah rahasia. Kebanyakan teman-teman lesbianku yang menikah dengan terpaksa, untuk status palsu, berakhir melukai laki-laki. Jangan pernah berpikir menjadi korban cinta setelah terpaksa menikahi laki-laki yang tidak dicintai. Barangkali justru keputusan egois agar selamat dari terpaan badai topan pertanyaan, "kapan nikah?" -lah muasal bencana sebenarnya. Atau berkelit dengan alasan "asal orang tua bahagia." Semua bermula dari diri sendiri, berkaca dan bertanyalah, menikah untuk membahagiakan diri atau orang lain?

Aku bukan orang yang menampik usulan menikah dengan laki-laki, tapi bukan untuk menyelamatkan muka atau demi orang lain. Aku orang yang punya cita-cita menjadi bahagia, bukan sekedar mimpi. Bahagia tidak terikat pada unsur perempuan atau laki-laki. Bahagia sering kali diwujudkan secara sederhana dengan senyuman.

Tersenyumlah untuk sebuah jawaban yang sederhana, sedikit rumit atau luar biasa membingungkan. Pernikahan adalah sesuatu yang penuh kejutan dan rahasia: dengan siapa, kapan dan di mana. Kulumlah sebutir senyum untuk pertanyaan, "kapan nikah?" -mu sambil ucapkan mantra dalam hati: I have secrets, I won't share.

Selasa, 04 September 2012

oh.my.ro

sebut saja namanya ro.
dan, ya ampun, betapa patah hatinya aku sepuluh tahun lalu karena perempuan ini.

"i took this love and i took it down
i climbed the mountain and i turned around
and i saw my reflection in the snow-covered hills
where the landslide brought me down"

kenapa, ya, lagu country selalu terkesan sedih buatku. saat mendengar lagu ini di glee, aku sudah menyangka pasti menyebalkan. sebab senantiasa akan terngiang-ngiang di telingaku dan menjadi theme laguku saat patah hati. kalau orang jaman sekarang bilang lagu galau. radio galau yang kuputar terus menerus, ya, hampir pasti lagu janra ini sambil menangis bombay. aku masih ingat hingga september tahun ini, betapa "hilangnya" aku saat itu. karena ro.

"...what is love?
can a child within my heart rise above?"

beberapa hari setelah perpisahan smu, aku mengunjungi kamar asrama ro, yang sudah ditinggalkan pemiliknya kembali ke kampung halaman. merekam tiap detil kamar yang ia tinggali selama setahun, yang merekam suara ro di dindingnya, seakan-akan saat itu suaranya diperdengarkan kembali padaku. dan airmataku terurai, mengingat waktu tiga tahun di mana aku bisa leluasa melihat ro kini telah hilang.

"can i sail through the changing ocean tides?
can i handle the seasons of my life?
i dont know"

sepuluh tahun lalu, aku berada di awal semester ganjil pertama di kehidupan kuliahku. rasanya menangis darah. belajar berteman dengan orang-orang yang tak pernah kutemui, tak satupun teman smu ku satu kampus apalagi satu jurusan. beberapa wajah kukenal saat mengikuti kursus di lembaga bimbingan belajar saat kelas tiga dulu. adaptasi adalah satu keharusan, padahal aku tahu kalau aku sedang ingin sendiri. pada akhirnya memang aku cuma punya dua orang teman di antara dua ratus lima puluh mahasiswa yang satu jurusan. sampai semester lima baru aku menambah beberapa lagi.

"well, ive been afraid of changing
coz ive built my life around you"

saat beranjak masuk kelas tiga smu aku memang begitu takut dengan masa depan. bukan tentang ujian nasional maupun ujian masuk perguruan tinggi, aku takut akan masa depan tanpa ro. di akhir kelas dua aku mulai menerima diri bahwa aku punya perasaan khusus padanya. perasaan yang aku tak mau tahu namanya apa. i dont know much but, that maybe all i need to know. itu juga mungkin ditambah dengan terpisahnya kelas kami, aku tidak bisa lagi sembarang curi pandang ke arahnya, setelah kami selalu satu kelas di kelas satu dan dua. perubahan awal yang membuatku takut pada perubahan-perubahan berikutnya, akankah ro satu kampus bahkan satu jurusan denganku selepas smu nanti? akankah semua tetap sama? akankah ini, akankah itu, yang tidak mengandung perubahan.

"but, time makes you bolder
children get older
and im getting older, too"

tapi waktu terus berjalan, kan? meski kita terluka, meski kita menangis. time heals all wound and it makes a new one. jauh dari dalam hatiku sejalan makin menuanya semesterku, aku masih berharap aku punya cerita dengan ro. cerita seperti dalam novel cinta yang berakhir bahagia. bahwa ia menerima cintaku dan juga mencintaiku apa adanya. jauh dari lubuk hati aku masih bernestapa, mungkinkan ia cinta pertama?

"so, take this love and take it down
if you climb a mountain and you turn around
and if you see my reflection in the snow-covered hills
where the landslide brought me down
well, maybe the landslide will bring you down"*

dan aku berharap suatu hari nanti ia tahu bahwa aku memiliki rasa kepadanya. tapi itu dulu.

*lagu landslide

Senin, 02 Juli 2012

sepuluh tahun lagi

Seringkali saat aku mengatakan bahwa aku tidak tertarik dengan komitmen. Aku hampir-hampir setuju dengan Bilangan Fu milik Ayu Utami tentang mengerikannya hubungan dengan perempuan, walau gambaran Utami lebih membuat bulu kudukku merinding (selain mengerutkan kening).

Jadi, perjalananku dengan partner selama 6 tahun ini membuatku lumayan heran, apa yang membuatku mau menghabiskan masa mudaku dengan setia kepada partner?

Mulai dari usia sepertiga awal dua puluhanku sampai sepertiga akhirnya, banyak peristiwa, ada yang sedih, banyak yang gembira, kadangkala datar. Begitu menghindari komitmen, aku sampai bilang pada partnerku di awal perjalanan kami, jika sepuluh tahun lagi dia masih mencintaiku, aku pasti akan kembali padanya (jika kami waktu itu sudah putus). Dengan syarat dia mengirimiku tiket ke Bali untuk menjumpainya di sana (aku berniatan awal untuk lari sementara dari pekerjaanku, apapun kerjaku sepuluh tahun yang akan datang, dengan tiket gratisan ke Bali dari partner -aku yakin dia tidak keberatan).

Aku tertawa dalam hati, dengan cowok aku bisa bertahan tujuh tahun, dengan cewek sebelumnya cuma satu setengah tahun, tentu aku pesimis dengan hubungan sesama perempuan. Pesimis dan ogah berkomitmen, untuk apa menghabiskan waktu menepati janji pada seseorang yang tidak ada di masa depan kita?

Tapi jangan pikir aku akan menulis tentang aku dengan partner. My relationship is something I don't want anyone to interfere. Hanya saja aku menekankan kata "sepuluh tahun lagi" yang kuterapkan pada partner, yang akan kujadikan pokok tulisan.

Bermula dari seorang, yang kuduga lesbian, datang bersama ibunya ke ruang Triage sebuah rumah sakit. Usianya barangkali dua puluh satu, dengan keluhan panas badan. Saat memeriksa nadi di pergelangan tangan, kulihat beberapa bekas luka di sana. Percobaan bunuh diri. Ibunya sedang bicara dengan dokter ketika kudekati dia, kubalik tangannya hingga telapak menghadap ke atas, kuraba jaringan parut miliknya. Dia tertegun. Aku seksama mengamati luka lamanya yang kehilangan warna, bertanya padanya lewat tatapan. "Sayang, apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri?" bisik mataku pada matanya, bibirku melengkung sedih. Aku seperti merasakan dia perlahan membuang nafas yang tak sengaja tertahan.

Mereka yang datang ke sini kebanyakan ingin hidup lebih lama, ingin mengembalikan tubuh ke fungsi semula dengan berbagai cara. Beberapa datang dengan sia-sia, beberapa datang dengan menyia-nyiakan hidupnya. Aku terperangkap menjadi sosok yang dipercaya manusia menjadi perpanjangan tangan Tuhan, menyelamatkan manusia lain. Sementara jauh dalam hatiku, aku tahu aku mungkin melakukan hal sebaliknya.

Begitu heran dengan anggapan apa-apa yang dilakukan sosok-sosok yang berprofesi mirip denganku adalah sosial, sementara aku sering memalingkan muka dari kata "tolong". Aku tak menuntut ilmu dari belas kasihan orang lain, kadang mereka memaki bahkan meminta pertanggungjawaban saat aku salah, apa aku tak layak melayani mereka dengan ketus? Jangan harap aku berpikir pembeli adalah raja.

Tapi hatiku lebih cerdik rupanya dari otakku. Dasar perempuan. Ternyata 80% mereka 'sembuh' dengan senyuman, perhatian dan pengertian. Dengan formula itu, kerumitan tak lagi panjang. Jadi aku berniat menerapkan formulasi yang sama pada perempuan di Triage ini.

Perempuan, berapa banyak yang berpikiran untuk menghabisi diri sendiri, bukan cuma melukai? Aku jadi salah satu yang akan tunjuk tangan bila seseorang bersedia memanggil nama melakukan presensi. Akan kujadikan diriku contoh sempurna perempuan yang terbelit-belit dalam lingkaran abu-abu yang tak hanya punya satu degradasi warna. Malaikat, lesbian, anak perempuan yang bermuka dua, malaikat maut, fobia komitmen tapi begitu mencintai pasangan, perusak persahabatan dan perebut istri orang. Itu hanya sebagian kecil, percayalah. Dan bila sepuluh tahun yang lalu aku memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hidupku di dunia, aku takkan tahu jadi apa aku dalam sepuluh tahun kemudian.

Sepuluh tahun lalu, mengetahui aku jatuh cinta pada sesama perempuan, menghadapi ujian masuk perguruan tinggi padahal aku tak tahu jurusan apa yang kumau, mendapati teman-teman sibuk menjalani hidupnya sendiri selepas sekolah menengah, mendengar setiap hari tentang keinginan ini-itu orang tua dan orang-orang dekat, membiarkan orang lain memutuskan jalan untukku, takut akan masa depan, berkali-kali bertanya sendiri "mau dibawa ke mana hidupmu, n1n?", dan tak punya satupun teman dekat untuk berbagi membuatku berpikir bahwa bunuh diri adalah jawaban tepat untuk semua pernyataan remuk redamnya hati di atas. Dan sepuluh tahun setelahnya kudapati itu adalah perbuatan yang konyol karena aku punya segalanya di usia ini.

Itulah form berikutnya yang akan kubisikkan dengan hati-hati, dengan segenap perhatian, pengertian dan sedikit senyum kecil dibalut keprihatinan kepada perempuan yang kuduga lesbian itu, "Apapun yang terjadi pada hidupmu, semenakutkan apapun ke depannya, seburuk apapun situasinya, sepatah hati apapun perasaanmu dan sebahagia apapun yang kau rasakan, berjanjilah memberi dirimu sendiri waktu sepuluh tahun lagi, sebelum menarik pelatuk menembak diri sendiri atau mengiris nadi."

Sebab sepuluh tahun yang lalu, akulah perempuan di Triage itu.

jalanan, n1nna...

aku mulai merasa, semakin hari aku mendekati saat membuat keputusan penting dalam hidupku. sesuatu yang selalu bisa kuhindari, selalu bisa aku berlari dari, sekarang kusadari betapa pentingnya ia untuk menjadi pijakan masa depanku. dan aku menangis jauh sebelum aku sampai di persimpangannya.

itulah, aku selalu takut dengan masa depan.

aku tak takut tantangan, ada mantera "ini pasti akan terlewati juga" yang bisa kuulang-ulang dan terbukti khasiatnya, yang membantuku melewati hari satu-satu. berhari-hari kunyanyikan big girls dont cry, 

"The path that I'm walking
I must go alone
I must take the baby steps 'til I'm full grown"

berulang-ulang sampai hatiku pedih dan menangis, dengan aroma pengakuan bahwa aku harus membuat keputusan cepat atau lambat di persimpangan itu nanti.

TIME MAKES YOU BOLDER,
CHILDREN GET OLDER
AND I'M GETTING OLDER, TOO.

ya, akupun menua pada akhirnya, membawaku pada persimpangan yang selalu kujauhi.

berkali-kali mengulang serial glee dan mendapatiku berperang batin yang sama, mau dibawa ke mana hidup kita? quo vadis, n1nna? akan berkembang menjadi seperti apa lagi, hey, diriku sendiri?

so much to learn, so much to try


Tuhan, tahu apa aku tentang masa depan?

"Where shall I go? To the left where nothing's right or to the right where nothing's left?"

Rabu, 11 April 2012

merokok

merokok. barangkali sebagian besar orang menghujat rokok. bahkan ada yang ribut ingin memasukkannya dalam list narkoba golongan I karena efek adiksinya. tapi aku pribadi, im glad rokok hadir di kehidupan manusia.

saat aku sekolah untuk mendapat titel di depan namaku, aku sering menghadapi kematian orang lain. setiap kematian, aku selalu sibuk menyalahkan diri dan mood menjadi rusak. sering marah. sering kecewa. aku punya solusi saat itu, sebatang rokok untuk suatu kematian. aku menjadi lebih tenang. somehow, it puts me at ease. tapi aku juga tidak berakhir dengan menjadi kereta api beberapa tahun terakhir saat aku menghadapi kematian setiap hari, malah aku berhenti merokok. aku cuma merokok kalau rindu, kalau suasana hati tak tenteram, kalau sedang ingin sendiri, kalau gelisah. dan aku tak suka kopi.

rokok mencegah demensia dan parkinson, berlaku untuk laki-laki. perempuan? tak bermakna, konon katanya karena hormon.

barangkali semua tergantung kebijakan kita sendiri memakai sesuatu. seperti rokok, yang maunya dimasukkan, narkoba golongan I. terlepas betapa rokok menghidupi hajat hidup orang banyak (prostitusi dan narkoba juga menghidupi, lho!), reaksi kimia yang terjalin antara zat-zat dalam rokok dengan neuro transmitter/reseptornya memberi semacam suntikan energi tambahan (kata erna itu cuma sugesti! berani sekali dia membantah aku, hahaha, kuhajar dengan teori nikotin dan reseptornya di tubuh kita, sebagian yang dijelaskan seorang guru besar sebuah perguruan tinggi yang pernah kudengar materi kuliahnya). kayak minum kopi, orang yang biasa minum kopi maka sehari tak minum akan lemas (sialnya sebagian besar teman kerjaku adalah peminum kopi, mereka yang berhenti cuma untuk alasan hamil), tak bersemangat, dan sebagainya. efek palpitasi akan memicu kita untuk bergerak dan bergerak, mirip ecstacy/ekstasi. godek terus, yuk, oom erna. hehehe, teori asal-asalan. aku? minum kopi segelas dan berakhir kalau tidak semaput karena palpitasi atau kebanyakan gerak, ya karena migrain (padahal dalam obat migrainku ada caffein nya, aneh bukan?).

ya sudahlah, tampaknya semakin malam semakin ngelantur. erna sibuk nggebet mantan dan aku mantengin komputer dengan mouse yang sudah lecek punya kantornya. rupanya kantor erna ini punya satpam baru: dia. hahaha. ngekos kok di kantor.

Selasa, 03 April 2012

Namanya Ayu Utami

Jadi aku di sini, setengah jam sebelum hari ulang tahunku berakhir, setelah curhat berdarah-darah pada Alex kenapa aku tidak bisa menulis lagi dan sehabis teman-temanku plus partner mengadakan konferensi meja kotak di sebuah kafe di bilangan Hayam Wuruk membahas atau berdebat seru tentang impian. Aku tentu tidak ikut ambil bagian dalam perdebatan itu karena, alasan sederhana, I don't do dream.

Demi memuluskan langkah partner mengikuti SepociKopi 30 Day Challenge, aku duduk berjam-jam, berganti-ganti posisi kaki dan tubuh, Bilangan Fu di tanganku. Buku setebal 500 atau 600 halaman itu kubalik lembar demi lembar, bisa saja kuselesaikan seharian tapi aku bukan pengangguran, dengan jadwal rutinku yang padat bin membosankan, jumlah halaman itu dalam 7 hari membuatku ingin mencekik biang kerok pencetus tantangan ini.

Dan dengan kurang ajar, si biang kerok itu juga tadi menyuruhku berhenti menulis. "Saranku? Berhenti nulis," itu kata-katanya kalau aku perlu mereka ulang lewat chatting.

Jengkel dengan chatting, yang teks maupun yang denger (teman-teman yang konferensi tadi masih berapi-api membahas mimpi, mereka duduk dan memesan ini-itu padahal aku tidak sedang mentraktir mereka), aku tenggelam pada huruf demi huruf yang dilontarkan Ayu Utami dalam buku bersampul cokelat itu.

Dari pengarang yang menyebut diri sendiri Katolik nggak beres inilah, aku pertama kali bersinggungan dengan dua orang penggemar buku di SMA ku. Yang satu guru Bahasa Indonesia, yang satu cowok IPA3 yang sama-sama kelas 3. Lewat novel berjudul awal Laila tak Mampir ke New York, guruku meracuniku yang memang tidak suka sains tapi terjebak di kelas IPA, dan membuatku menjalani masa kritis agama dan masa negativisme (yang terakhir sampai sekarang kualami).

Ayu Utami juga yang membuatku sempat suka pada seorang adik kelas, Katolik dengan latar belakang keluarga Katolik yang Jawa banget sehingga nyaris Muslim, pembaca buku, pengamat dan pengkritisi hal kecil-kecil (tak heran kacamata dia tebal) dan pengkoleksi lonceng sapi. Ya, koleksi lonceng sapi. Dalam kamarnya ada rak khusus buku-buku perbandingan agama dan primbon. Percaya Tuhan ahli berhitung sehingga bersuami pekerja negara yang kerjanya mengawasi orang menghitung, itupun perhitungan weton mereka sudah dihitung lengkap sampai tanggal baik untuk bikin anak, kali. Di kacamataku, dia perempuan yang mirip Ayu Utami, atau barangkali aku mengira Ayu Utami itu seperti dia.

Kalau aku harus menyebut satu nama pengarang favorit, sudah pasti jawabannya Ayu Utami. Jika aku ditanya kenapa? Aku akan menjawab karena dia menulis buku seperti seorang guru menjelaskan sesuatu ke muridnya. Bagaimana seorang guru menjelaskan ke muridnya? Guru akan mengambil contoh-contoh sederhana yang mirip cara kerja/sistem/fungsinya dengan hal yang dimaksud. Sebagai contoh, bagaimana anda menjelaskan fungsi lambung untuk mencerna makanan ke anak kecil? Anda cukup mengumpamakan dengan blender. Nah, Ayu Utami ini menjembatani pikiran dia yang bizzare dengan cara perumpamaan itu sehingga kita nyambung dengan apa yang ditulisnya. Bahasannya berat, tapi dia balut ringan, nakal, kritis dan menimbulkan rasa curiga (dan ingin tahu). Ya itu yang kusuka dari Ayu Utami, nggak njlimet, meski penuh negasi dan sering kontradiktif. Yang belakangan itu aku curiga memang harus dimiliki orang-orang postmo.

Jangan mengaku penggemar buku kalau tidak pernah membaca karya Ayu Utami. Aku tidak membaca Harry Potter (karena hidup di Mars selama 15 tahun) atau seri Twilight yang penuh adegan banjir darah dan kekerasan dengan vampir kulit kecoklatan macho dan serigala pucat yang keemasan diterpa sinar matahari. Tidak, aku tidak membaca mereka dan aku tak hafal nama pengarangnya. Tapi kalau kamu tanya siapa pengarang dwilogi Saman/Larung, aku yang akan menjawab pertama kali: namanya Ayu Utami.

Rabu, 08 Februari 2012

lorong tanpa lorong

aku tak ingin terperangkap detil kepergianmu
asa musnah
hati tercabik

lalu waktu menjadi gasing, bumerang
berkisar
kenangan cuma masa lalu

ingatan hanya jebakan mimpi
genangan sepi
luruh di pagi-pagi

kita, para pelari
sepanjang jalan, sebagian mencipta lorong
berlari dan berlari
kau tak perlu terperangkap detil kepergianku

Minggu, 22 Januari 2012

jarak

berapa kuat jarak, kin? seberapa kuatnya ia mampu membuatku lupa padamu? jarak barangkali mengasingkan sejenak diriku pada sekeliling, adaptasi yang akan memforsir pikiranku dari memikirkanmu. lalu rutinitas mengaburkan bayangmu di jam kerja, lantas membuatku mengingatmu di waktu istirahatku.

aduh, kin, aku harus bagaimana?


nb: sambil ndengerin aya en niken di mykopio grensiti, kok mendadak inspirasiku hilang ya?

Kamis, 19 Januari 2012

set adrift on memory bliss

Aku seperti lupa, berapa lama kita tak jumpa, seperti sudah selamanya. Selamanya sudah berlalu, tinggal aku menatapmu di kejauhan, stelan jas formal membungkus rapi tubuh rampingmu. Aku sampai lupa kalau kamu lebih tinggi dari aku, tujuh senti kurang lebih. Banyak yang sudah kulupakan tentang kamu, aku lebih tertarik untuk mengenal kamu yang sekarang ini ada di hadapanku. Kamu yang sekarang.

Barangkali agak menyenangkan juga, kita berdua sama-sama terjebak di pulau Dewata untuk menghadiri simposium kerja profesional kita. Tapi, aku cuma asisten di sini dan kamu, apa ya kamu, petugas keamanan mungkin? Kamu pasti akan mengulang kata 'petugas keamanan' dengan kata-kata yang santai dan penuh canda. Aku selalu suka cara bercandamu yang itu. Cara bercandamu yang membuatku tersipu.

Dan malam tiba, aku tahu kamu pasti tidak tahan untuk tidak mendekatiku. Kamu memang cukup agresif, dan ingatanmu yang kuat tentu belum melupakan kisah cinta seumur jagung kita waktu sekolah dulu. Lihat dirimu, senyum lebar penuh percaya diri, androgini yang anggun, berambut panjang, sedikit mengembang bekas di sasak sana-sini, kulit kering karena rajin mandi air hangat, rambut agak rusak karena banyak dimodif untuk pesta, tapi senyummu tetap tak berubah. Dan yang paling kusuka adalah senyummu.

Bertemu denganku hanyalah alasan kedua kamu di sini, seperti juga alasanku karena aku tidak tahu kalau akan bertemu kamu di sini. Semuanya terasa asing, kamu seperti makhluk baru bagiku, bukan karena kamu jauh berubah. Aku seperti lupa kamu pernah ada di hidupku. Rasanya sudah lama sekali padahal aku baru mau menginjak 28 tahun. Tidak selama itu, bukan? Aku tidak keberatan, aku masih menyukaimu di pandangan pertama, apalagi kamu memberi bonus senyum manis yang tak terjadi di pertemuan kita pertama dulu. Begitu menyenangkan sampai aku lupa cincin yang mengikat jari manismu. Apa itu dosa yang paling manis? Dosa yang tercatat dengan jari manismukah? Aku mabuk kepayang, aku lupa daratan. Aku lupa ada cinta yang seperti ini dan dalam seminggu semua akan berakhir seperti kisah cinta yang sedih di film drama, aku menangis sendiri sementara kamu memeluk orang lain dan aku hanyalah teman kencan seminggumu di pulau Dewata. Aku tak keberatan, bukankah orang mabuk selalu nyeri kepala setelahnya? Dan itu tidak menghentikan mereka untuk mabuk lagi.

Kita berjalan berhimpitan, kurangkulkan lenganku pada pinggangmu, mencubit gemas sedikit lemak yang bersembunyi di sana. Seminyak, Kuta, Padang-Padang, Benoa, duh terus mana lagi ya? Aku tak peduli latar belakangnya mana, yang penting aku bersamamu. Pelan-pelan melangkahi hari demi hari hingga saat mimpi sedih tiba. Hari terakhir dan senyummu masih sama, tidakkah ada sebersit kesedihan tersirat di hatimu? Mungkin aku tak perlu mengharap demikian, selepas ini kamu punya kekasih lain untuk memelukmu. Sedang aku terbangun dari mimpi sedih mengenang kebersamaan kita. Demikian cinta menjadi begitu memabukkan, memisahkan hati dari logika, selalu begitu kalau tentang kamu.

Dan aku terbangun dari mimpi sedih itu ini malam.


~inspirasi: patah hatinya boneng

a very sad movie-like dream

after a conversation via ym with a broken-hearted boneng, last night i dreamt about tough moments.

it was tough, woke up crying.

it's hard being denied after being loved but, its better find out now than never. life's still going on, dont narrow minded and never say regret.

Selasa, 03 Januari 2012

kecelakaan erna, 27 desember 2011

a friend in need, a friend indeed?

aku tidak tahu, yang jelas aku dan nick kebingungan juga saat erna kecelakaan, harus masuk icu tanpa keluarga atau pasangannya untuk memutuskan dia mau diapakan. jadinya, akulah yang bertugas memutuskan. terbukti keputusanku kurang tepat juga, tapi tanpa keluarga atau pasangan dia ada, ya, jelas aku kesulitan untuk memutuskan mau diapakan si erna ini. tentunya kaitan paling besar yaitu masalah dana. kalau aku memutuskan ini-itu lalu tiba-tiba bayar banyak sekali, bagaimana aku mempertanggungjawabkannya?

untungnya saat erna disarankan untuk dilakukan operasi kepala (sub dural hematom),, pihak keluarga sudah ada di sisinya. dengan posisi erna yang sudah coming out ke keluarganya, teman bebas datang silih berganti meski punya macam gaya (butch, femme, andro, gay, waria). pergaulan erna yang luas memungkinkan kami untuk menggalang dana, tapi entah berhasil atau tidak, aku tidak tahu.

dari pihakku, kami jualan buku bicara (bukan) pada sunyi yang seluruh uangnya akan diberikan ke erna. tapi tentu saja tidak banyak. terakhir yang kutahu biayanya sampai saat ini 30 juta. wih, duit banyak banget itu.

aku masih agak sebel sama pasangan erna, gak habis pikir gimana bisa dia meninggalkan kami begitu saja di ird rumah sakit angkatan laut itu cuma bertiga, aku , nick dan yang sakit, erna. lebih pusing lagi saat dia bilang ke alung kalo yang bisa njenguk cuma keluarganya erna, alung, tria dan dia. lha gimana kita mau nggalang dana kalo temen-temennya gak boleh jenguk?

semakin nggak respect saja aku sama dia.

tahun baru kami akhirnya gagal ke tempat erna. aku, ai, rere, icha, caca dan cici akhirnya ke rumah nick. setelah cari makan dan terjebak macet, kami tiba di rumah nick jam setengah 12 malem, gak peduli dengan perayaan tahun baru yang penting makan dan langsung balapan tidur karena kecapekan terjebak macet. perayaan tahun baru yang aneh bin menyebalkan.

ya sudahlah, anggap pengalaman berharga. lain kali bila naik sepeda motor, jangan lupa helm di klik.