Kamis, 13 Juni 2013

BFF (Best Friend Forever)

Sebuah short message sampai pada mobile-ku, dari seorang teman, bisa dibilang sahabat, sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama).

"sbuk bngt ya? g da wktu luang gtu? sometimes I want 2 see cz I know we r best friend ever, but I was afraid if we'r not feel the same (:-[ ashame)"

Sesungguhnya aku tidak mengerti maksud dia apa.

"We're fine this way. Onok opo to pin?"

Jawabanku tidak dibalasnya.

Aku selalu merasa, she's trying to reach for me. Dulu di SMP aku yang berusaha reaching for her. Tapi, rupanya, dia lebih cocok bersahabat dengan orang lain, dan aku berusaha legowo saat dia lebih dekat dengan Heni. Mereka sebangku, rumah bersebelahan. Secara fisik dan mental, Heni lebih nyata karena dia dekat. Aku dan dia beda kelas.

Selepas SMP, dia ke luar kota, sukses dengan organisasi yang digelutinya sejak SMP. Organisasi yang sama kami geluti bersama di SMP tapi aku tidak berminat lagi di jenjang selanjutnya. Aku ilang feeling -ilfeel- sama yang namanya organisasi siswa sejak terancam drop out di SMP. Bukan karena raporku merah, mulutku ini tak bisa kujaga.

Memang tak salah kalau seandainya dia bilang aku berubah. Sejak kejadian aku menciumnya saat kuliah, itu membuat cara pandangku berbeda pada persahabatan. Aku, pasca kejadian itu, bersumpah palapa bahwa aku takkan jatuh cinta pada sahabatku lagi. Aku memperbaiki diriku sendiri dan belajar memaafkan diri sendiri untuk waktu yang lama. Waktu yang kuberikan pada diriku sendiri dengan menghindarinya. Pesan-pesan lewat mobile yang kubalas singkat, padat, jelas, seolah kami dua orang asing sudah pasti membangkitkan luka, sebab dulu aku orang yang selalu mencambuknya untuk maju, menamparnya dengan kenyataan, menepuk bahunya untuk bangkit saat dia jatuh. Aku hampir selalu ada dan mengulurkan tangan di saat dia butuh. Lalu, aku berubah menjadi orang yang tidak lagi bisa dia andalkan.

Aku melakukan semua hal di atas bukan karena aku jatuh cinta padanya sejak awal. Aku cuma penasaran bagaimana "rasa" sahabat. Dan hal manis kudapatkan dari dirinya sebelum dia menolakku. Bukan menolakku sebagai kekasih, aku tak pernah menginginkannya demikian. Aku merasa dia berubah lebih dulu daripada aku. Juga kenyataan bahwa kami ternyata tak sedekat itu, sebagai sahabat maksudku, di SMP. Kemudian dia menuduhku berubah, menjadi perempuan yang sekarang ini jauh darinya, dan mengatakan ini-itu tentang bagaimana seorang sahabat seharusnya.

Aku tak sepakat.
Sesungguhnya, aku menyukai diriku yang sekarang. Hubungan yang stabil, dan sahabat-sahabat yang saling membantu. Saling membantu, bukan satu sisi saja.

Kalau boleh kutanyakan, ke mana dia saat aku terancam drop-out dari SMP kami, ke mana dia saat aku berusaha memahami kelesbiananku -saat aku menciumnya, kebingungan pasca kejadian itu, dan mesti memagari hati dari para sahabat-, ke mana dia saat aku limbung dan linglung, lalu melakukan hal-hal bodoh, ke mana dia saat kekasih laki-lakiku mengkhianatiku, alasan apa yang akan dia utarakan padaku? Aku berubah, ya. Lebih pada cara pandangku menyikapi persahabatan.

Aku tak memahami arti "selamanya".
Sesungguhnya mereka-mereka yang kuanggap sahabat berakhir meninggalkanku, lalu aku meninggalkan mereka. Sering, kami lebih memilih tidak membicarakannya, tiba-tiba menjadi orang asing, dan aku tidak keberatan kehilangan orang-orang yang kukasihi. Hubungan itu, persahabatan maupun cinta, sering seperti meteorid, berpijar terang di satu waktu lalu padam selamanya. I'm in a process, takkan kubiarkan satu orangpun menghalangiku untuk belajar menjadi besar. Belajar legowo dan melepas pergi. Belajar merelakan sesuatu yang kita inginkan, tapi ternyata tak baik untuk kita.

Kita baik-baik saja di titik ini, Pin. Aku masih seorang sahabat bila kamu mengira aku demikian. Hanya saja paradigma yang kupilih berbeda dengan saat itu. We are best friend, and best friend we shall be.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar