Kamis, 06 November 2014

Whaddaya Want From Me?

Untuk kesekian kali aku dibuat jengkel oleh mantan gebetan.

Bukan kejadian baru-baru ini ataupun di tahun ini, sih, tapi baru punya mood untuk nulis tentang hal itu sekarang. Aku orang yang rentan terhadap cinta bertepuk sebelah tangan. Tiga kali jatuh cinta pada pandangan pertama, tiga kali itu pula cintaku bertepuk sebelah tangan. Cintaku tak terbalas. Tapi dari tiga orang itu, Andin yang paling membuat hatiku semrawut karena hubungan dan penyelesaian yang sama-sama tidak jelasnya.

Aku pernah membaca tulisan Ayu Utami tentang sahabat yang tiba-tiba melamar bercinta. Walaupun tidak pernah terjadi padaku, aku sudah menyiapkan diri bila itu terjadi.

Persiapanku terbukti nol besar saat Andin yang menawari. Menggoda iman. Memang aku sangat tertarik dengannya dan dia bisa dengan cerdas memutar-mutar logika hingga sampai ke tujuannya. Penuh antisipasi, kalau aku nggak boleh bilang cemas antisipatoar. Khas orang berpendidikan, alasan harus dibangun sedemikian rupa sehingga nampak masuk akal. Dan dalam hal perasaan tidak ada text book untuk dijadikan acuan. Benar atau salah tergantung sudut pandang.

Dan rupanya penolakanku tahun lalu sudah final baginya. Gak ada lagi kamu dan aku. It's all ending. It's all over. Finished. Tamat. Fin. Anehnya justru aku yang gigit jari. Kalau boleh kuungkapkan lewat video klip mungkin Wrecking Ball paling pas, aku akan menghancur-hancurkan dinding dengan frustrasi. Aku juga tidak mengerti, ini pasti kutukan orang Aries, yang hatinya sanggup mencintai banyak orang sekaligus.

Dia pernah protes kalau alasanku memilih setia karena aku berkomitmen demikian. Protes karena partner gak layak mendapatkannya. Saat itu memang partner masih terikat pernikahan, Andin juga menikah. "Persetan dengan proses perceraian, saat itu partnermu masih nikah," demikian ungkitnya, "Jadi kenapa kamu tak bisa menolerir situasiku?"

Aku merasa dipermainkan. Andin pernah bilang bahwa tak bisa memberiku cinta, waktu maupun status. Aku bukan pengemis, detik itu juga aku memutuskan kami selesai. Tapi aku memang tidak bisa mengelak kalau dia sangat menarik bagiku. Berakhir menjadi hubungan tarik-ulur, partner sampai melotot karena was-was dengan hubunganku dengan Andin.

Andin selalu merasa aku tidak adil. Bahwa aku lebih mencintai partner bahkan saat kami dekat (saat itu aku sama partner putus dan Andin belum nikah). Andin bilang dia mencintaiku seperti aku mencintainya dan bisa berkomitmen. Berulang kali kubilang kalau aku tidak berminat jadi orang ketiga dalam perkawinan seseorang, bahwa aku memilihnya ketimbang menunggu partner yang berarti mengharapkan perceraian seseorang. Kalau setelah aku menganggap hubunganku dengannya selesai lalu partner datang padaku dengan berita rencana perceraian kemudian aku memilih kembali pada partner sedang Andin menikah, ya apa aku bersikap tidak adil?

Justru aku lebih layak menyangsikan perasaannya padaku. Tak lama setelah kami selesai, dia sudah meniduri sahabatnya sendiri, yang juga temanku.

Tidak akan pernah berimbang, sampai saat ini aku pikir aku lebih besar menggunakan perasaanku bila berhadapan dengan dia, dan dia membiakkan keuntungan bagi kenikmatannya. Aku takkan menyangkal perasaanku padanya, kekecewaanku yang besar, tapi aku juga punya prinsip. Bukan masalah berbagi istri atau tidak mau menjadi nomor dua. Bukan pula tak ingin bahagia. Aku menghormati perkawinan, tiap kali tertarik dengan istri orang aku membayangkan ada orang lain yang akan sama patah hatinya seperti hatiku dalam Andin: ada lelaki setia yang hancur hidupnya. Apakah mereka yang sudah bersumpah di depan Tuhannya untuk saling setia dan cinta, yang ternyata mempunyai belahan jiwa lain selain orang yang bersumpah bersamanya, benar-benar dapat dipegang komitmennya?

Untuk apa percaya pada apa yang bisa patah dan mati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar