Selasa, 09 Desember 2014

Pantai Hutan Bakau

Hari ini aku datang padanya. 

Setelah perjalanan malam di udara. Aku merindunya.
"I thought you were asleep"
"I tried to...but then I kept seeing you and her together"
Aku tidak bisa menjawab apa-apa dan hanya menciumnya. Sering dia membuatku hilang kata-kata. Kadang kami hidup di dunia di mana kata-kata tidak pernah ada. Semua hanya bahasa tubuh dan tulisan. Bibir hanya untuk mencium dan memagut.

Apa benar ini mimpi yang jadi nyata?

Apakah pagi nanti aku bangun dalam rumah impiannya di pinggir pantai?

Laut. Biru. Ksatriaku.
Yang sibuk menyisir pasir. Dan aku memandang seolah tak mengenalnya, dengan keingintahuan yang besar. Rambut legam yang dipermainkan angin, yang menitiskan embun segara.

Lengkap dengan kemeja putih, dia acuh menantang matahari yang membakar kulit. Buih-buih bertabrakan pada karang dan kaki telanjang. Aku seperti terbius, menuruti jengkal demi jengkal keinginannya menyisir.

Tapi aku ingin berlari kembali. Aku tak pernah begitu mencintai laut. Tidak pula pada refleksi langit. Tidak pada senja dan matahari terbit.

Angin laut hanya membawa kabar duka. Berita kepergian yang dinyanyikan burung-burung dari satu musim untuk mengejar musim yang sama.

Musimku sudah hilang.

Dan aku penat dalam selimut musim baru yang asing. Musim yang hanya membuatku ingin menutup pintu dan selamanya tertidur dalam hutanku. I'm always sleeping in my forest of thorn. Sampai suatu hari tiba musim laut dan pintuku mendadak terbuka. Seseorang memaksa masuk dan aku tidak berdaya. Dia.

Badai laut membahana. Angin menyusupkan warta yang tak ingin kudengar, kisah yang ingin kulupa.

Kususuri jejaknya kemudian, supaya angin membunuh diriku yang mencintainya.




Untuk: M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar