Kamis, 27 Oktober 2011

ive had enough



ada satu hal luar biasa yag paling kupelajari dari magangku ini. sistem. hebatnya sebuah sistem yang benar dan mengerikannya terjebak pada sistem yang payah. sistem magang di sekolahku payah (sekali), sehingga tak bisa konsen belajar karena lebih sibuk bekerja dan kecapekan. cakap tapi bego. dan aku magang pada pusat pendidikan terbaik dan menjadi rujukan indonesia timur.

beberapa teman begitu mengagumkan, sanggup sekolah, magang, sambil merawat keluarga dan mencari uang. beberapa yang lain hidup dengan sekolah, magang, sambil digerogoti kanker, ada yang dirinya sendiri ada yang pasangannya. kadang mereka cuti untuk menjalani kemoterapi, bertahan hidup. aku? tak ada satu titik kehebatan apapun yang bisa kubanggakan dari menjadi aku. aku lajang, dengan seorang partner yang hebat, dia menjadi tulang punggung keluarganya dan masih sanggup meladeni kemanjaanku, tiap wiken melintas kota untuk menemuiku, kadang-kadang wikday pun dia lakukan saat kumat childishku.

ada begitu banyak hal yang gagal kusyukuri dari menjadi aku yang sekarang. aku lajang, dengan partner yang begitu care dan mencintaiku, dan aku tak punya beban untuk mencari uang atau bertahan hidup atau merawat keluarga. cuma sekolah dan magang. titik. meski karena terpaksa.

sekolah, dan magang di dalam kurikulumnya, adalah hal paling masuk akal yang logis bin reasonable bagiku untuk meningkatkan hajat hidup di kemudian hari. harapanku, setelah aku lulus aku dapat bekerja dengan rileks sambil merawat keluarga (atau hidup bahagia bersama partner). dan menjadikan uang bukan masalah besar, alias makmur. tapi, kepribadianku yang katanya niken adalah posmo, seolah-olah bertolak belakang dengan semua hal logis yang telah dikemukakan. aku tak merasa menjadi logis adalah jawaban untuk menjalani hidup, and im not happy about it. dan mengikuti kata hati, aku yakin, juga tidak akan membahagiakanku. lantas, quo vadis parikesit n1nna?

kontradiktif, itulah aku (dan niken menjulukiku posmo).

peristiwa-peristiwa yang terjadi seputar magangku memicu pertanyaan quo vadis ini. penyebabnya, meski cuma trigger, adalah sistem bejat di tempat magang dan betapa sulitnya menjadi manager yang tiap langkahnya menabrak dinding-dinding bernama supervisor, anak buah dan, kembali lagi, sistem. sampai detik ini, hatiku masih meradang akan peristiwa-peristiwa itu, cukup menangis, cukup berdarah. cukup. cukup. ive had enough, aku cuma ingin menjalani dengan penuh damai dan menolak menjadi pimpinan lagi.

dan Tuhan, beri aku kekuatan untuk menerima apa yang tidak bisa kurubah. aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar