Senin, 28 November 2011

pada akhirnya

in the end we only regret chances we didnt take, the relationships we were scared to have and the decisions we waited too long to make.
there comes a time in your life when you realize who matters who doesnt, who never did and who always will

pada akhirnya kita hanya akan menyesali kesempatan yang tidak kita ambil, ikatan-ikatan emosi yang kita terlalu takut untuk miliki dan keputusan-keputusan yang kita buat dalam waktu yang lama.
akan datang saat-saat dalam hidupmu di mana kau menyadari siapa yang benar-benar berarti dan siapa yang tidak, siapa yang tidak pernah berarti dan siapa yang selalu berarti.

Selasa, 15 November 2011

terima kasih

Aduh, cuti ini membuat aku sedikit "gila". Di rumah terus empat hari ini karena penyakit menular cacar air yang kuderita, rasanya gak tahan, pingin keluar dari rumah, tapi malu. Vesikel-vesikel di mukaku parah.

Ndengerin musik mpe muak, main gitar gak lancar-lancar, belajar keyboard udah menyerah. Membaca malas. duh, gimana donk?

Jadi aku banyak menulis di blog, mengedit cerita-cerita lamaku walaupun aku benci mengedit. Mengedit tulisanku yang dikembalikan Lakhsmi, salah satu editor SK yang (konon) menakutkan (untung gak diomel-omelin dan dibilang "tulisanmu buruk, tamat SMA atau enggak, sih?"), dan menelaah perjalanan tulisanku.

Aku berterima kasih (pada diriku sendiri) karena aku menulis. Kebiasaan sejak SD menjelang SMP sampai sekarang. Aku cuma ingin menulis apa yang ingin kutulis, bukan pesanan orang atau untuk menarik pembaca. Frankly, i dont even need a reader. Seharusnya, pembaca yang berterima kasih pada penulis, bukan sebaliknya. Pembaca ada karena ada penulis, bukan sebaliknya. Penulis memberi jejak-jejak sejarah, penulis memberi pengetahuan tentang apa yang tidak diketahui pembaca dan penulis adalah pengejar fragmen keabadian. Penulis memberi gambaran gamblang terhadap apa yang dirasakan pembaca. Penulis membaca pembaca, memuaskan pembaca, memberi stimuli dalam bentuk tulisan pada pembacanya. Tanpa penulis, kekayaan manusia hanyalah ingatan. Cuma kenangan. Hilang oleh emosi baru atau terbawa pergi orang-orang yang terbaring dan menutup mata.

Pembaca yang seharusnya berterima kasih pada penulis.

Sebagai penulis, tentunya aku berawal sebagai pembaca (meski aku cuma penulis blog). Bisa dibilang aku pembaca buku itu-itu saja, dan aku berterima kasih kepada penulis bukuku yang itu-itu saja dengan cara: menulis. Aku berterima kasih awalnya dengan cara merespon kata-kata atau perdebatan dalam buku-buku yang kubaca. Dengan cara menulis emosi yang digambarkan sang penulis ke dalam ceritaku, memberi plot, alur, karakter yang kuinginkan ada demi sang penulis. Aku pembaca yang tahu berterima kasih, karenanya aku menulis, mencatatkan sejarah demi sejarah, yang nyata atau buatan, semuanya demi keabadian, mengabadikan rasa terima kasihku. Ars longa vita brevis.

Aku berterima kasih pada penulis buku-buku, tulisan-tulisan, puisi, lirik lagu, reviews, cerita, laporan, liputan dan sebagainya yang menjadikanku menjadi penulis yang sekarang. Mungkin aku tidak inspiratif, tidak hangat menyapa pembaca, tidak menghargai pembaca, masa bodoh dengan keinginan pembaca, bersikap it's me attitude, congkak dan sebagainya. Semua itu karena aku merasa pembaca yang memberi respon adalah seorang penulis juga yang memberi tahu aku, yang seorang penulis, apa yang tidak kuketahui. Sehingga aku bisa membaca pembaca dan belajar menulis lagi dari apa yang tidak kuketahui. Begitu terus.

Sewaktu belajar di dbuku pada proyek resensi Kota Surabaya, direktur dbuku Mbak Sasa mengedit setengah mati hasil resensiku. Potong ini, potong itu, sambil minta maaf dan bilang jangan sakit hati. Dia menulis padaku untuk menambah ini-itu, mengatakan resensiku kurang panjang, menyuruhku cari pembahasan lain yang kira-kira kurang, dan sebagainya. Puyeng setengah mati, bukan hanya karena dia motong ini-itu sehingga bikin pendek tulisanku, tapi dia tak memberi clue yang banyak dan cuma menganjurkan baca buku ini dan itu.

Dari situlah aku semakin yakin, aku harus berterima kasih pada penulis. Karena dengan membaca buku ini-itu yang dibilang Mbak Sasa, aku melahap satu demi satu buku resensi. Hasilnya, aku berhasil meresensi buku-buku tak biasa macam buku kuliner, kamus suroboyan-indonesia, dsb.

Dan aku terpukul dengan kebiasaan penulis berterima kasih pada pembacanya. Sebagai penulis (yang juga pembaca), aku merasa pembacalah yang mesti berterima kasih. Aku mengejar buku Mira W dari satu toko buku bekas ke toko buku bekas lain demi mencari perbedaan antara Relung-Relung Gelap Hati Sisi edisi lama dan edisi baru seperti yang pernah ditulis Alex. Aku mengejar buku Herlinatiens Garis Tepi Seorang Lesbian dan tak berhasil mendapatkannya sampai sekarang, terus mencoba cari meski susah, karena aku berterima kasih. Mereka menulis buku bertema dunia lesbian yang langka, baik itu dari sudut pandang yang positif maupun negatif. Penulis mengabadikan dan mencurahkan waktu serta bakatnya agar pembaca bisa menikmati usahanya. Oleh karena itu aku berterima kasih pada penulis.

Saat banyak penulis bunuh diri setelah menuliskan karya-karya besarnya, seperti Virgina Woolf (Mrs. Dalloway) dan Stieg Larsson (trilogy of The Girl with Dragon Tattoo), itu membuatku semakin yakin, penulis tidak membutuhkan pembaca untuk mengapresiasi atau mendukung apa yang dia lakukan. Malahan, pembacalah yang kehilangan pasca kepergian mereka. Saat itu baru mereka berterima kasih. Rasa terima kasih yang tertulis (dan abadi) itu, meski terlambat, bagiku memang seharusnya dilakukan.

Terbayangkah anda, yang menggemari Harry Potter, bagaimana jika pada seri ke enam tiba-tiba J.K Rowling bunuh diri? Mungkin tidak satu orangpun di dunia ini sanggup membawa keajaiban Harry Potter seperti yang dilakukan perempuan Inggris itu. Jika dia berterima kasih pada anda karena telah membaca bukunya, berpikir ulanglah. Dia layak berterima kasih untuk usaha kita menabung uang saku demi membeli buku seri harry potter sebagai koleksi pribadi, dia layak berterima kasih karena kita mau mengantre ratusan meter demi mendapat tanda tangannya, membeli merchandise harry potter, dia layak berterima kasih untuk apapun di luar tentang tulisannya, sebab kita, para pembaca, lah yang layak berterima kasih untuk sesuatu luar biasa yang dia berikan lewat tulisannya.

Rasa terima kasihku jugalah yang membawaku berani mengirim naskah pada SK, terima kasih telah memberi bacaan yang menarik sejak tahun 2007, yang membuatku belajar, yang memberiku pengetahuan lewat penulis-penulis terpilih. Rasa terimakasihku dan dua juta pengunjung lain. Terima kasih.

Dan untuk para pembaca: mari menulis!

Kamis, 10 November 2011

LISTEN

You know, it really is amazing what we're capable of if we care about someone enough. True love, that's what it's called, and it doesn't really matter how you find it, just as long as you do. -Krista Barron.

Jika ditanya film lesbian pertamaku apa, jawabannya adalah LISTEN. Aku nonton pertama di kelas 6 SD diajak oleh kakak perempuanku di tahun 1996. Yang kuingat dari film itu adalah, jika kamu mencintai seseorang, kamu akan melakukan segalanya untuk mendapatkannya (tipikal lesbian psycho).

Jadi aku browsing ke mbah google, di sana kutemukan banyak link mereview LISTEN ini, menambal ingatanku yang lubang-lubang tentang ceritanya.

Sarah dan Krista dulunya adalah sepasang kekasih yang berpisah saat Sarah memutuskan hubungan mereka karena ingin punya anak. Sarah meninggalkan Krista untuk laki-laki bernama Jake.

Suatu hari, Sarah menemukan telepon di balik lemari pakaian (bener/nggak, ya? ini seingetku) yang ternyata bisa mendengarkan phonesex yang dilakukan oleh tetangga apartemennya (seorang pria). Sarah, yang ingin berkomitmen heterosexual dengan Jake tapi tidak yakin bisa settle in, mengalihkan kegelisahannya tersebut pada -yang kemudian menjadi kebiasaan- kegiatan menguping phonesex tetangganya (nguping sambil bermasturbasi).

Satu persatu perempuan operator phonesex yang didengarkan oleh Sarah terbunuh oleh serial killer, kemudian Sarah curiga kemungkinan Jake adalah sang penelepon yang dia kuping yang mungkin juga pembunuh para operator tersebut.

Seingatku, siapa pembunuhnya akan diungkapkan oleh satu bandul atau gantungan kunci dan kata-kata penutup film ini.

Sebenarnya aku sama sekali tidak ingat pemain-pemainnya, cantikkah, gantengkah, dsb. Yang aku ingat dari film ini adalah adegan-adegan erotisnya (dan pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku adalah kenapa kakakku ngajak aku nonton film erotis saat aku masih kelas 6 SD, film lesbian lagi), ini adalah untuk beberapa kalinya aku nonton film 17 tahun ke atas (gara-gara film Indonesia jadul dulu boomingnya film nyrempet-nyrempet seks) di bioskop.

LISTEN membekas diingatan karena ini film vulgar pertama yang kutonton, temanya unik: lesbian (waktu itu belum tau kalo perempuan bisa suka perempuan) dan plotnya menarik (serial killer, phonesex, a psycho lover). Jadi, ya, ketiga hal tersebut yang paling kuingat dari film lesbian pertama yang kutonton ini.

Minggu, 06 November 2011

listen to my prayer

by a patient old pilgrim i sit
i take a look
at the bare feet

i listen carefully
every word sprouts into sentence
sighs of amen

for the love i endure
God, spare me
redeem me

i'm indulging my passion
remembering her face
into my sinful prayer

God,
for only i know
it's You set me free
it's You let me be
my power, my pleasure, my pain
Nicht die Schönheit bestimmt, wen wir lieben, sondern die Liebe, wen wir schön finden.

It’s not beauty which determines whom we love but love determines whom we find beautiful.

After the dream of May

terasa sudah gemuruh
pada ombak-ombak
menghapus nama-nama pada pepasir

setelah mimpi di bulan mei
seutas ilusi runtuh ke bumi

tampaknya bukan soal sudi tak sudi
jika kamu, May, mengalir saja
berdiam saja

dan waktu terasa betul membunuhku
kali ini, sungguh, diamlah sebentar
diamlah sementara
sudah diam, kamu

aku tak sudi kamu persetankan

Die Liebe wächst mit der Entfernung

...lalu kamu ikut bicara dalam monologku
di suatu sunyi
saat kulukis di benakku gambar perjalanan kita

kamu tak pernah setuju arah langkah yang kutuju
tapi tak bisa kamu katakan tidak rindu
duh, kekasih, puaskah
kamu lukis di benakmu ribuan wajahku

barangkali kita tak sepakat
aku ingin lebur dalam pelukmu tapi kamu,
kamu...

kuhamblur saja sejuta peta sketsa
satu persatu guratan yang kubuat saban malam tiba
barangkali airmatamu tumpah haru
pada kesetiaanku memaknai waktu

perlahan luka yang membiru kehilangan warna
tinggal sedu-sedan bahagia
bersinergi dengan pertemuan kita

barangkali, sayang, saat itu aku
berhenti merindumu

barangkali, sayang


*Absence makes the heart grow fonder

Selasa, 01 November 2011

jogja

sewaktu niken menawarkan perjalanan menemui herlinatiens, sang pembuat epilog buku kami, melintas kota ke jogjakarta, hatiku bulat berkata, aku harus menerima tawaran ini!

jadi, saat seorang adik kelas dengan wajah desperate datang padaku karena ingin tukar jadwal shift, di mana aku satu-satunya orang yang bisa dia harapkan untuk bertukar jadwal, langsung ku-iya-kan. hasilnya, aku mendapat jadwal shift gila, sabtu pagi kemudian minggu malam.

pertimbanganku hanya satu: aku butuh perjalanan ini, setelah sekian minggu stress has taken its toll on me.

niken mengusulkan berangkat jumat jam sebelas malam, i said big NO. kudengar terminal jogja berbahaya saat shubuh dan aku tak mau ambil resiko. aku menyarankan berangkat sabtu setelah shubuh. semula niken tetap akan berangkat dijadwalnya, tapi akhirnya kami berangkat bersama-sama.

dengan satu sepeda motor untuk bertiga, menuju bungurasih, naik bis patas eka jurusan jogja. berangkat pukul 6 pagi dan sampai di jogja pukul 2 siang. menginap di sebuah tempat penginapan di jalan sosrokusuman, 95ribu kamar mandi dalam, bertiga. setelah beristirahat sejenak, kami lanjut jalan-jalan sepanjang mataram dan malioboro, cari makan dan belanja ini itu. lalu, setelah maghrib, setelah sepakat janjian dengan herlinatiens, kami menunggu dia di j.co mall mal malioboro. mata kami mengincar tempat duduk outdoor supaya orang yang kami tunggu-tunggu itu bisa bebas merokok.

tak seperti dugaanku, herlinatiens kurus sekali sekarang (aku pernah sekilas melihatnya di acara bedah buku di togamas surabaya beberapa tahun lalu, buku garis tepi seorang lesbian, yang aku tidak jadi ikut nongkrong di acaranya karena ada seorang teman kampusku yang nongkrong di situ). perokok berat, itu asumsiku, penikmat kopi. pasti tidak doyan makan, batinku. aku masih ingat membaca garis tepi seorang lesbian, buku yang meledak-ledak. herlinatiens hari itu tak tampak seperti bukunya, entah karena kami tak saling kenal atau aku telalu cepat mengambil kesimpulan. it takes forever to really know someone.

lalu kami ke bale raos, menikmati makanan traktiran seorang teman niken. makanan yang membuat perut kami semakin penuh. lalu herlinatiens mengajak kami ke depan kr, alias depan kantor kedaulatan rakyat, tempat angkringan yang minta ampun ramenya di malam minggu. di situ kami bertemu dua orang yang i guess a couple, yang rupanya teman herlinatiens. niken dan aya menerka-nerka apakah si herlinatiens seperti tokoh perempuan di buku pertamanya atau tidak, aku tidak meributkannya. bagiku lebih aman bergaul dengan mereka yang hetero, dan lebih baik tidak menduga-duga. itu hak siapapun untuk memilih apa orientasi mereka dan adalah hak siapapun untuk menentukan coming out atau stay in the closet. bagiku, yang penting memberi rasa aman.

sesi melekan di angkringan berkisar tentang curhat salah seorang dari peserta nongkrong itu tentang deadline menikah tahun ini dari orang tuanya. lalu bicara soal buku, budaya gemblak dan mairil, fpi dan lgbt, tentang proyek film herlinatiens, dan lain sebagainya.

keesokannya kami jalan-jalan ke benteng vredeburg setelah ke pasar beringharjo, ke alun-alun utara untuk sarapan di angkringan pojok gapura jalan koni. siangnya kami kembali ke surabaya, berangkat jam 3 sore dengan bus patas eka, sampai di surabaya jam 11 malam (sopir bus sangat menyebalkan, mulai dari menelepon sepanjang jogja-solo tanpa headset sampai menyetir ugal-ugalan ala sumber kencono).

yup, definitely, ini perjalanan yang kubutuhkan. ingin rasanya kembali merasakan perjalanan demi perjalanan, tapi terikat sekolah, shift terschedule dan libur yang tak jelas membuatku harus bersabar untuk perjalanan berikutnya.