Selasa, 15 November 2011

terima kasih

Aduh, cuti ini membuat aku sedikit "gila". Di rumah terus empat hari ini karena penyakit menular cacar air yang kuderita, rasanya gak tahan, pingin keluar dari rumah, tapi malu. Vesikel-vesikel di mukaku parah.

Ndengerin musik mpe muak, main gitar gak lancar-lancar, belajar keyboard udah menyerah. Membaca malas. duh, gimana donk?

Jadi aku banyak menulis di blog, mengedit cerita-cerita lamaku walaupun aku benci mengedit. Mengedit tulisanku yang dikembalikan Lakhsmi, salah satu editor SK yang (konon) menakutkan (untung gak diomel-omelin dan dibilang "tulisanmu buruk, tamat SMA atau enggak, sih?"), dan menelaah perjalanan tulisanku.

Aku berterima kasih (pada diriku sendiri) karena aku menulis. Kebiasaan sejak SD menjelang SMP sampai sekarang. Aku cuma ingin menulis apa yang ingin kutulis, bukan pesanan orang atau untuk menarik pembaca. Frankly, i dont even need a reader. Seharusnya, pembaca yang berterima kasih pada penulis, bukan sebaliknya. Pembaca ada karena ada penulis, bukan sebaliknya. Penulis memberi jejak-jejak sejarah, penulis memberi pengetahuan tentang apa yang tidak diketahui pembaca dan penulis adalah pengejar fragmen keabadian. Penulis memberi gambaran gamblang terhadap apa yang dirasakan pembaca. Penulis membaca pembaca, memuaskan pembaca, memberi stimuli dalam bentuk tulisan pada pembacanya. Tanpa penulis, kekayaan manusia hanyalah ingatan. Cuma kenangan. Hilang oleh emosi baru atau terbawa pergi orang-orang yang terbaring dan menutup mata.

Pembaca yang seharusnya berterima kasih pada penulis.

Sebagai penulis, tentunya aku berawal sebagai pembaca (meski aku cuma penulis blog). Bisa dibilang aku pembaca buku itu-itu saja, dan aku berterima kasih kepada penulis bukuku yang itu-itu saja dengan cara: menulis. Aku berterima kasih awalnya dengan cara merespon kata-kata atau perdebatan dalam buku-buku yang kubaca. Dengan cara menulis emosi yang digambarkan sang penulis ke dalam ceritaku, memberi plot, alur, karakter yang kuinginkan ada demi sang penulis. Aku pembaca yang tahu berterima kasih, karenanya aku menulis, mencatatkan sejarah demi sejarah, yang nyata atau buatan, semuanya demi keabadian, mengabadikan rasa terima kasihku. Ars longa vita brevis.

Aku berterima kasih pada penulis buku-buku, tulisan-tulisan, puisi, lirik lagu, reviews, cerita, laporan, liputan dan sebagainya yang menjadikanku menjadi penulis yang sekarang. Mungkin aku tidak inspiratif, tidak hangat menyapa pembaca, tidak menghargai pembaca, masa bodoh dengan keinginan pembaca, bersikap it's me attitude, congkak dan sebagainya. Semua itu karena aku merasa pembaca yang memberi respon adalah seorang penulis juga yang memberi tahu aku, yang seorang penulis, apa yang tidak kuketahui. Sehingga aku bisa membaca pembaca dan belajar menulis lagi dari apa yang tidak kuketahui. Begitu terus.

Sewaktu belajar di dbuku pada proyek resensi Kota Surabaya, direktur dbuku Mbak Sasa mengedit setengah mati hasil resensiku. Potong ini, potong itu, sambil minta maaf dan bilang jangan sakit hati. Dia menulis padaku untuk menambah ini-itu, mengatakan resensiku kurang panjang, menyuruhku cari pembahasan lain yang kira-kira kurang, dan sebagainya. Puyeng setengah mati, bukan hanya karena dia motong ini-itu sehingga bikin pendek tulisanku, tapi dia tak memberi clue yang banyak dan cuma menganjurkan baca buku ini dan itu.

Dari situlah aku semakin yakin, aku harus berterima kasih pada penulis. Karena dengan membaca buku ini-itu yang dibilang Mbak Sasa, aku melahap satu demi satu buku resensi. Hasilnya, aku berhasil meresensi buku-buku tak biasa macam buku kuliner, kamus suroboyan-indonesia, dsb.

Dan aku terpukul dengan kebiasaan penulis berterima kasih pada pembacanya. Sebagai penulis (yang juga pembaca), aku merasa pembacalah yang mesti berterima kasih. Aku mengejar buku Mira W dari satu toko buku bekas ke toko buku bekas lain demi mencari perbedaan antara Relung-Relung Gelap Hati Sisi edisi lama dan edisi baru seperti yang pernah ditulis Alex. Aku mengejar buku Herlinatiens Garis Tepi Seorang Lesbian dan tak berhasil mendapatkannya sampai sekarang, terus mencoba cari meski susah, karena aku berterima kasih. Mereka menulis buku bertema dunia lesbian yang langka, baik itu dari sudut pandang yang positif maupun negatif. Penulis mengabadikan dan mencurahkan waktu serta bakatnya agar pembaca bisa menikmati usahanya. Oleh karena itu aku berterima kasih pada penulis.

Saat banyak penulis bunuh diri setelah menuliskan karya-karya besarnya, seperti Virgina Woolf (Mrs. Dalloway) dan Stieg Larsson (trilogy of The Girl with Dragon Tattoo), itu membuatku semakin yakin, penulis tidak membutuhkan pembaca untuk mengapresiasi atau mendukung apa yang dia lakukan. Malahan, pembacalah yang kehilangan pasca kepergian mereka. Saat itu baru mereka berterima kasih. Rasa terima kasih yang tertulis (dan abadi) itu, meski terlambat, bagiku memang seharusnya dilakukan.

Terbayangkah anda, yang menggemari Harry Potter, bagaimana jika pada seri ke enam tiba-tiba J.K Rowling bunuh diri? Mungkin tidak satu orangpun di dunia ini sanggup membawa keajaiban Harry Potter seperti yang dilakukan perempuan Inggris itu. Jika dia berterima kasih pada anda karena telah membaca bukunya, berpikir ulanglah. Dia layak berterima kasih untuk usaha kita menabung uang saku demi membeli buku seri harry potter sebagai koleksi pribadi, dia layak berterima kasih karena kita mau mengantre ratusan meter demi mendapat tanda tangannya, membeli merchandise harry potter, dia layak berterima kasih untuk apapun di luar tentang tulisannya, sebab kita, para pembaca, lah yang layak berterima kasih untuk sesuatu luar biasa yang dia berikan lewat tulisannya.

Rasa terima kasihku jugalah yang membawaku berani mengirim naskah pada SK, terima kasih telah memberi bacaan yang menarik sejak tahun 2007, yang membuatku belajar, yang memberiku pengetahuan lewat penulis-penulis terpilih. Rasa terimakasihku dan dua juta pengunjung lain. Terima kasih.

Dan untuk para pembaca: mari menulis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar