Jumat, 29 November 2013

Resensi buku: Ash

Ash, ditulis oleh Malinda Lo dan terbit tahun 2009 sebenarnya merupakan buku yang sudah lama saya incar. Tapi berhubung keuangan tidak memungkinkan, saya baru bisa membeli karya Malinda Lo di tahun ini. Hasilnya, saya tidak menyesal.

Malinda Lo mengutak-atik cerita Upik Abu demikian rupa hingga menjadi cerita dongeng yang dilatari cinta dua perempuan.

Dibagi dua bab besar, bab pertama menceritakan tentang kehidupan Ash sepeninggal kedua orang tuanya dan pertemuannya dengan seorang peri, Sidhean. Bab kedua berkisar tentang Ash dan seorang pemburu pilihan Raja, Kaisa.

Di tengah cinta segitiga antara kedua makhluk yang berbeda dunia, Ash yang tampak lemah dan kurang greget dalam kebimbangannya memaknai cinta, ternyata merupakan perempuan yang tahu apa yang dia inginkan dan bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Do not fall in love with those who cannot love you” adalah pelajaran sekaligus cuplikan yang bisa dipetik dari pembicaraan Ash dan Kaisa. Pada akhirnya Ash hanya bisa hidup di satu dunia saja, dunia manakah yang bakal dipilih Ash? Dunia yang berisi ibu tiri yang menjadikannya sebagai pembantu dan kerap menyiksanya secara fisik dan batin namun memiliki Kaisa yang kerap dirindukannya dan bisa dengan mudah ia temukan, ataukah dunia peri yang memiliki Sidhean yang indah dan dengan sabar menantinya serta dapat menemukan Ash dengan mudah?

Bagi pecinta negeri dongeng, buku ini harus masuk daftar wajib baca, meski dialog di dalamnya kadang sedikit membingungkan.

Bagi yang mengenal saya, boleh mengontak saya untuk peminjaman buku ini. Tapi tolong, ya, kembalikan.

Kamis, 24 Oktober 2013

A better person?

6.39 pm
Sept 23rd, 2013
Senin

Banyak orang mengaku menjadi lebih baik setelah melewati kesulitan yang meremukkan hati.

Aku tidak merasa lebih baik.

Aku tidak berubah menjadi sangat relijius, tidak merubah prasangka burukku terhadap Tuhan, tidak berpikir bahwa ini sebuah cambuk untuk memperbaiki diri dan tidak menjadi orang yang lebih baik.

Berulang kali kuulang dalam hati, count your blessing, mengulang kata cewek Katolik yang pernah kugila-gilai beberapa saat lalu. Di saat-saat aku kesulitan mengontrol kemarahan atau rasa putus asa, selalu ada satu atau dua kata miliknya yang bisa kujadikan pegangan meskipun komunikasi dengannya masih terasa sulit untuk hatiku. A blessing in disguise.

Dan aku itu, fisik sekali. Sebagai contoh, sangat membutuhkan pelukan di saat aku berada di titik terendah. Karenanya aku kurang mengandalkan Tuhan.

Saat aku SMP, aku selalu berpikir takkan pernah bisa lulus SMA. Aku punya kakak yang lebih tua tiga tahun. Dulu, dia rajin belajar di meja ruang tamu, terutama mengutak-atik soal Matematika, dan aku kerap mengintip tugas yang dia kerjakan saat orangnya tak ada. Tugas-tugas itu terlalu sulit untukku.

Temanku bilang, nanti kalau SMA pasti bisa mengerjakannya. Bahwa aku perempuan pintar. Mungkin maksudnya adalah aku mesti naik satu demi satu anak tangga untuk berada di tingkat kakakku saat itu.

Di SMA aku tidak pernah mengerjakan tugas Matematika, guru menghadiahiku angka-angka merah di raport tanpa perbaikan. Saat kelas tiga aku menyadari bahwa ini adalah tahun terakhir aku menentukan jurusan pilihan, sebab aku harus berkecimpung selama beberapa tahun di bidang tersebut. Kuliah, maksudku.

Saat masuk dalam jurusan favorit sebagai mahasiswa baru, aku berkembang jadi perempuan sinis dan tidak bahagia. Sampai pada anak tangga ini tak satupun mendapatkan hal-hal yang kuinginkan.

Temanku pernah bilang kalau dia heran dengan orang yang melakukan dan menggeluti hal yang tidak mereka inginkan atau cintai. Kakakku pernah bertanya, kalau saat itu aku boleh memilih melakukan hal yang kuinginkan, apa yang bakal kupilih?

Sejujurnya, aku tidak menginginkan apa-apa. Saat kita berulang kali kecewa, kadang kita menjadi lelah berharap. Sampai aku sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang kuinginkan.

Barang kali benar kata temanku SMP, aku belum sampai di anak tangga itu. Belum sampai pada anak tangga "menjadi orang yang lebih baik pasca cobaan berat". Belum sampai pada anak tangga "mengetahui, mengejar atau mendapatkan hal yang diinginkan". Barang kali yang terakhir karena aku kurang ambisius.

Paling tidak, we have to be steady. Lalu naik pelan-pelan, menikmati proses pembelajaran merunuti anak tangga demi anak tangga.

I'm not a better person, but I learn to be.

Kamis, 13 Juni 2013

BFF (Best Friend Forever)

Sebuah short message sampai pada mobile-ku, dari seorang teman, bisa dibilang sahabat, sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama).

"sbuk bngt ya? g da wktu luang gtu? sometimes I want 2 see cz I know we r best friend ever, but I was afraid if we'r not feel the same (:-[ ashame)"

Sesungguhnya aku tidak mengerti maksud dia apa.

"We're fine this way. Onok opo to pin?"

Jawabanku tidak dibalasnya.

Aku selalu merasa, she's trying to reach for me. Dulu di SMP aku yang berusaha reaching for her. Tapi, rupanya, dia lebih cocok bersahabat dengan orang lain, dan aku berusaha legowo saat dia lebih dekat dengan Heni. Mereka sebangku, rumah bersebelahan. Secara fisik dan mental, Heni lebih nyata karena dia dekat. Aku dan dia beda kelas.

Selepas SMP, dia ke luar kota, sukses dengan organisasi yang digelutinya sejak SMP. Organisasi yang sama kami geluti bersama di SMP tapi aku tidak berminat lagi di jenjang selanjutnya. Aku ilang feeling -ilfeel- sama yang namanya organisasi siswa sejak terancam drop out di SMP. Bukan karena raporku merah, mulutku ini tak bisa kujaga.

Memang tak salah kalau seandainya dia bilang aku berubah. Sejak kejadian aku menciumnya saat kuliah, itu membuat cara pandangku berbeda pada persahabatan. Aku, pasca kejadian itu, bersumpah palapa bahwa aku takkan jatuh cinta pada sahabatku lagi. Aku memperbaiki diriku sendiri dan belajar memaafkan diri sendiri untuk waktu yang lama. Waktu yang kuberikan pada diriku sendiri dengan menghindarinya. Pesan-pesan lewat mobile yang kubalas singkat, padat, jelas, seolah kami dua orang asing sudah pasti membangkitkan luka, sebab dulu aku orang yang selalu mencambuknya untuk maju, menamparnya dengan kenyataan, menepuk bahunya untuk bangkit saat dia jatuh. Aku hampir selalu ada dan mengulurkan tangan di saat dia butuh. Lalu, aku berubah menjadi orang yang tidak lagi bisa dia andalkan.

Aku melakukan semua hal di atas bukan karena aku jatuh cinta padanya sejak awal. Aku cuma penasaran bagaimana "rasa" sahabat. Dan hal manis kudapatkan dari dirinya sebelum dia menolakku. Bukan menolakku sebagai kekasih, aku tak pernah menginginkannya demikian. Aku merasa dia berubah lebih dulu daripada aku. Juga kenyataan bahwa kami ternyata tak sedekat itu, sebagai sahabat maksudku, di SMP. Kemudian dia menuduhku berubah, menjadi perempuan yang sekarang ini jauh darinya, dan mengatakan ini-itu tentang bagaimana seorang sahabat seharusnya.

Aku tak sepakat.
Sesungguhnya, aku menyukai diriku yang sekarang. Hubungan yang stabil, dan sahabat-sahabat yang saling membantu. Saling membantu, bukan satu sisi saja.

Kalau boleh kutanyakan, ke mana dia saat aku terancam drop-out dari SMP kami, ke mana dia saat aku berusaha memahami kelesbiananku -saat aku menciumnya, kebingungan pasca kejadian itu, dan mesti memagari hati dari para sahabat-, ke mana dia saat aku limbung dan linglung, lalu melakukan hal-hal bodoh, ke mana dia saat kekasih laki-lakiku mengkhianatiku, alasan apa yang akan dia utarakan padaku? Aku berubah, ya. Lebih pada cara pandangku menyikapi persahabatan.

Aku tak memahami arti "selamanya".
Sesungguhnya mereka-mereka yang kuanggap sahabat berakhir meninggalkanku, lalu aku meninggalkan mereka. Sering, kami lebih memilih tidak membicarakannya, tiba-tiba menjadi orang asing, dan aku tidak keberatan kehilangan orang-orang yang kukasihi. Hubungan itu, persahabatan maupun cinta, sering seperti meteorid, berpijar terang di satu waktu lalu padam selamanya. I'm in a process, takkan kubiarkan satu orangpun menghalangiku untuk belajar menjadi besar. Belajar legowo dan melepas pergi. Belajar merelakan sesuatu yang kita inginkan, tapi ternyata tak baik untuk kita.

Kita baik-baik saja di titik ini, Pin. Aku masih seorang sahabat bila kamu mengira aku demikian. Hanya saja paradigma yang kupilih berbeda dengan saat itu. We are best friend, and best friend we shall be.

Jumat, 17 Mei 2013

Kepada: Rasa Antah Berantah yang Menyerangku Hari Ini

Bingung harus menulis apa. Kata Erna kalau aku galau itu berarti aku kebanyakan pikiran.

Pikiran apa? Itu tak berhasil kuurai sampai malam ini. Jadi aku melamun, ditemani lagu-lagu yang tak pernah menjadi pilihan favorit di play list.

Aku payah untuk beberapa hal. Beberapa hal itu termasuk memahami keinginanku. Lebih sering aku memendam dan menjauhi keinginan, sebab aku ingin menjadi rasional. Menjadi perempuan yang tak menuruti hormon saja.

Mengirimkan sejumlah data ke bawah sadarku dan itu masih tak membuatku tenang. Ada apa denganku, Tuhan?

I miss Bu Diah a lot. Bukan rindu yang terlarang, aku tiba-tiba rindu pada kebebasan yang ditawarkan Bu Diah dan Hyan. Saat aku benar-benar tahu apa yang kuinginkan, dan apa yang kuinginkan tak mungkin bisa kudapatkan. Setidaknya aku tahu apa yang kuinginkan.

Mungkin di satu pihak aku merasa ternyata hidupku ini membosankan. Naik-turun pada roda yang sama. Ingin melompat pada perputaran lain tanpa mempengaruhi roda yang saat ini kujalani.

Aku beralih pada facebook orang lama, yang menawarkan cerita masa lalu yang tidak ada hubungannya sama sekali denganku. Ceritanya runut, tidak menarik tapi menyenangkan. Aku orang yang menghargai kenangan meski menolak larut di dalamnya. Elang terbang sendiri. Mereka yang terbang sendiri terlihat berkilau malam ini. Bukan orang yang hidup sendiri, tapi yang hidupnya berputar menjauhi diriku. Menceritakan hidupnya tanpa ada aku di dalamnya. Serasa duduk bersama orang asing lalu ia bercerita tentang hal yang tak kutahu asal-muasalnya dan aku mendengarkannya bukan karena itu menarik, hanya itu sesuatu yang baru bagiku, yang memberikan pengajaran entah apa yang penting kusimpan saja. Lalu ia pergi dan kami takkan ingat satu sama lain lagi.

Orang asing sering memberi ketenangan yang aneh untuk duka dalam diriku. Tanpa perlu meninggalkan sisa dupa. Ia tak perlu mengerti atau pura-pura memahamiku, dan aku cuma perlu diam. Beruntung lagi kalau ia tipe yang hanya ingin didengar, tanpa bertanya apa-apa padaku dan aku cuma menawarkan senyum. Senyum yang kutahu tak mampu mengobati perih hatinya kalau ia membawa luka.

Saat-saat ini adalah saat di mana aku merasa hidupku seperti kegaduhan di ruang gawat darurat, dan aku adalah pasien yang berusaha membunuh diri sendiri. Banyak orang yang tak kukenal membantuku mempertahankan hidup sementara mereka yang kucinta malah menjadi alasan utama kenapa aku harus ditolong.

Tidak, bukan berarti malam ini aku sedang merasa tidak enak pada orang-orang tercinta. Hanya sebuah perumpamaan saja, tolong jangan dianalogkan secara keterlaluan.

Bu Diah menjawab message ku dan tiba-tiba aku kepingin nangis.

Tuhan.

Aku merasa tidak bisa bernafas untuk sepuluh detik.

Masih aku tak bisa mengurai rasa apa ini yang menghantuiku hari ini.

Jumat, 12 April 2013

Aku Jatuh Cinta

Aku jatuh cinta

Pintaku, lepaskan yang tak pernah saling di antara kita
Sekian kali kita bicara, tak kepadamu aku jatuh cinta
Kau tak berhenti tak mengerti kenapa aku tak bisa
Aku hanya tak bisa. Aku tak tahu jawabannya

Kini aku telah jatuh cinta
Mestikah kutegaskan ini luka?
Aku tak mau melihat sinar itu padam di matamu
Tapi bukan cinta yang kuinginkan

Aku jatuh cinta

Kau tak perlu menabahkanku dengan doa
Hanya jangan pergi
Aku bukan memberimu ketidakpastian
Tidak pula sebarang janji

Barangkali sekedar mementingkan diri
Tanpa bisa memberi apa yang kau impikan

Rabu, 27 Februari 2013

resolusi awal tahun yang telat banget

jadi aku sepakat, hal terbodoh yang pernah kulakukan di tahun 2012 adalah pergi ke bromo dengan persiapan minim. padahal dari berempat, aku-nick-erna-hening, cuma erna yang mengaku pernah ke bromo. mengandalkan peta coretan tangan dari teman kuliahku, kami berangkat dengan dua sepeda motor.

alhasil, erna hipotermi di sana, untung sekali ya Tuhan ada perpanjangan tanganMu, dua orang laki-laki menyelamatkan kami. dan jaket berlebih yang kubawa.

kita memang tidak boleh meremehkan alam.

maka, resolusi tahun ini, bulat tekadku bahwa bila akan berlibur harus memastikan situasi dan kondisi yang akan kami temui. entah cuaca, kendaraan pulang-pergi, makan, uang saku, obat-obatan dan lain-lain. sedikit mengurangi kebiasaan sebagai bocah petualang, karena mau tidak mau harus sadar kondisi diri.

dan barangkali libur akhir tahun adalah yang terbaik, bali dan berempat. nick-erna-aku-hening. a little bit crazy but so much fun. bad decisions make good stories. dan keputusan yang tak kusesali. terima kasih kepada hening swara yang sudah memberi kami hadiah liburan ini.

Jumat, 11 Januari 2013

Sepocikopi jaya!

Rutinitas adalah pengabur jejak waktu yang paling mujarab. Sering kali, dengan rutinitas yang bertubi-tubi, 24 jam tak cukup buatku.
Seperti hari ini, saat aku mendapatkan email dari Sepocikopi, terus terang aku kaget. Aku tak pernah merasa diriku adalah kontributor tetap, hanya menulis sesempatnya, semoodnya, dan se-se yang lain yaitu melihat kondisi dan situasi yang ada. Dalam hati membatin, aku punya tugas bejibun yang belum kuselesaikan, Sepocikopi meminta satu tulisan untuk tanggal tertentu dengan tema ulang tahunnya. Kalau sehari lebih dari 24 jam, bolehlah, masih membatin dalam hati.
Lalu aku berpikir ulang kembali, berapa banyak orang yang beruntung seperti aku? Menjadi bagian dari sederet penulis yang ditunjuk untuk memberi warna jendela elektronik di majalah online yang menyatukan dan menjadi panutan  demikian banyak lesbian di nusantara (bahkan mungkin di luar juga). Aku punya satu kolom yang bisa kumanfaatkan mencurahkan rasa terima kasih dan doa panjang umur untuk majalah yang sudah menemaniku selama enam tahun ini, bukan cuma sederet doa pendek di ruang komentar. Jadi, mengapa tidak. Belum sampai satu jam kubaca email tersebut, aku langsung menulis.
Kembali ke rutinitas, beberapa saat yang lalu  di hari raya Idul Fitri, aku merenungkan satu hal yang belum sempat kutulis di manapun. Renungan yang sempat terlupa karena rutinitas, dan kebetulan  cocok untuk tema ulang tahun Sepocikopi.
Di sela liburan hari raya itu aku mengunjungi rumah kakak ipar yang berada di desa daerah Babat yang menuju ke arah Jombang. Di Kecamatan Mada. Konon, menurut orang-orang di sana dulu pernah lahir seorang bocah laki-laki bernama Gajah. Gajah itu demikian terkenal, terutama di jaman Majapahit hingga sekarang dengan sebutan Gajah Mada. Gajah yang berasal dari desa Mada.
Entah itu sejarah benar atau tidak, aku tidak terlalu ambil pusing. Ada hal yang membuatku sudah pusing dengan berada di sana. Jangan bayangkan desa itu selalu hijau, berhawa sejuk, air jernih melimpah. Hijau iya sih, tapi hawa sejuk dan air jernih? Ngimpi!
Jalan gang yang penuh kapur dan selalu dilewati sepeda motor atau mobil membuat sesak jalan nafas. Air  yang harus ditampung terlebih dahulu beberapa lama agar tidak keruh, yang membuatku malas untuk sikat gigi. Ini bukan bayangan desa makmur.
Barangkali beberapa ratus tahun yang lalu, saat Gajah menjadi pemuka pemerintahan Majapahit, desa ini maju dan menawan. Masa keemasan yang ditelan oleh waktu. Waktu memakan apapun, kedigjayaan dilahapnya habis.
Ada perjuangan yang mungkin sama seperti perjuangan Gajah dan sumpah Palapanya. Barangkali kubayangkan Alex, Lakhsmi, Ade Rain, Bening dan penancap tonggak Sepocikopi lainnya bersumpah takkan menikmati kenikmatan dunia sampai berhasil membuat bacaan berkelas untuk lesbian nusantara. Namun, perjuangan yang lebih sulit adalah mempertahankan masa emas yang ada. Menyadari hal yang abadi adalah perubahan, satu demi satu perubahan, perombakan, mengikuti animo demand pembaca sambil tetap menjaga mutu tulisan adalah hal unik yang membuat Sepocikopi tetap dibanggakan.
Enam tahun yang lalu, aku hanya penikmat tulisan Sepocikopi, punya banyak waktu lengang tanpa keinginan untuk menjadi salah satu penulis. Memberikan informasi ke sesama lesbian tentang majalah lesbian ini sambil lalu. Enam tahun kemudian, aku menulis ini, merasakan kesabaran Sepocikopi menunggu dan mendidik pembacanya untuk memberi kontribusi mulai hal yang sederhana, tulisan tentang kehidupan sehari-hari, sampai hal yang bersinggungan dengan orang lain seperti bakti sosial SKSurabaya beberapa waktu yang lalu.
Akan tumbuh orang-orang seperti aku, memberi kontribusi di kemudian hari. Terus dan terus, menjaga masa emas ini berlangsung lama. Semoga Sepocikopi diberi kekuatan untuk selalu membuka jalan, memberi inspirasi, pengetahuan, menjadi teman dan jendela untuk masa depan tanpa batas.
Jayalah selalu, Sepocikopi!