Selasa, 09 Desember 2014

Kepada Penutur Gelisah

Ini airmata bukan buat cinta

Kuulurkan tangan buat gadis yang tak bisa memaknai sendiri
Dan aku tak ingin berharap kau membalas rasa yang berusaha kuredam
Aku tak ingin berharap apapun kepada siapapun kamu

Sebab aku tak sabar untuk mencintai orang yang mencintaiku
Bukankah September sudah berlalu?
Kusadari janji cumalah pemanis mimpi

Ini airmata bukan buat cinta
Terlebih, bukan untukmu

Pantai Hutan Bakau

Hari ini aku datang padanya. 

Setelah perjalanan malam di udara. Aku merindunya.
"I thought you were asleep"
"I tried to...but then I kept seeing you and her together"
Aku tidak bisa menjawab apa-apa dan hanya menciumnya. Sering dia membuatku hilang kata-kata. Kadang kami hidup di dunia di mana kata-kata tidak pernah ada. Semua hanya bahasa tubuh dan tulisan. Bibir hanya untuk mencium dan memagut.

Apa benar ini mimpi yang jadi nyata?

Apakah pagi nanti aku bangun dalam rumah impiannya di pinggir pantai?

Laut. Biru. Ksatriaku.
Yang sibuk menyisir pasir. Dan aku memandang seolah tak mengenalnya, dengan keingintahuan yang besar. Rambut legam yang dipermainkan angin, yang menitiskan embun segara.

Lengkap dengan kemeja putih, dia acuh menantang matahari yang membakar kulit. Buih-buih bertabrakan pada karang dan kaki telanjang. Aku seperti terbius, menuruti jengkal demi jengkal keinginannya menyisir.

Tapi aku ingin berlari kembali. Aku tak pernah begitu mencintai laut. Tidak pula pada refleksi langit. Tidak pada senja dan matahari terbit.

Angin laut hanya membawa kabar duka. Berita kepergian yang dinyanyikan burung-burung dari satu musim untuk mengejar musim yang sama.

Musimku sudah hilang.

Dan aku penat dalam selimut musim baru yang asing. Musim yang hanya membuatku ingin menutup pintu dan selamanya tertidur dalam hutanku. I'm always sleeping in my forest of thorn. Sampai suatu hari tiba musim laut dan pintuku mendadak terbuka. Seseorang memaksa masuk dan aku tidak berdaya. Dia.

Badai laut membahana. Angin menyusupkan warta yang tak ingin kudengar, kisah yang ingin kulupa.

Kususuri jejaknya kemudian, supaya angin membunuh diriku yang mencintainya.




Untuk: M

Kamis, 06 November 2014

Whaddaya Want From Me?

Untuk kesekian kali aku dibuat jengkel oleh mantan gebetan.

Bukan kejadian baru-baru ini ataupun di tahun ini, sih, tapi baru punya mood untuk nulis tentang hal itu sekarang. Aku orang yang rentan terhadap cinta bertepuk sebelah tangan. Tiga kali jatuh cinta pada pandangan pertama, tiga kali itu pula cintaku bertepuk sebelah tangan. Cintaku tak terbalas. Tapi dari tiga orang itu, Andin yang paling membuat hatiku semrawut karena hubungan dan penyelesaian yang sama-sama tidak jelasnya.

Aku pernah membaca tulisan Ayu Utami tentang sahabat yang tiba-tiba melamar bercinta. Walaupun tidak pernah terjadi padaku, aku sudah menyiapkan diri bila itu terjadi.

Persiapanku terbukti nol besar saat Andin yang menawari. Menggoda iman. Memang aku sangat tertarik dengannya dan dia bisa dengan cerdas memutar-mutar logika hingga sampai ke tujuannya. Penuh antisipasi, kalau aku nggak boleh bilang cemas antisipatoar. Khas orang berpendidikan, alasan harus dibangun sedemikian rupa sehingga nampak masuk akal. Dan dalam hal perasaan tidak ada text book untuk dijadikan acuan. Benar atau salah tergantung sudut pandang.

Dan rupanya penolakanku tahun lalu sudah final baginya. Gak ada lagi kamu dan aku. It's all ending. It's all over. Finished. Tamat. Fin. Anehnya justru aku yang gigit jari. Kalau boleh kuungkapkan lewat video klip mungkin Wrecking Ball paling pas, aku akan menghancur-hancurkan dinding dengan frustrasi. Aku juga tidak mengerti, ini pasti kutukan orang Aries, yang hatinya sanggup mencintai banyak orang sekaligus.

Dia pernah protes kalau alasanku memilih setia karena aku berkomitmen demikian. Protes karena partner gak layak mendapatkannya. Saat itu memang partner masih terikat pernikahan, Andin juga menikah. "Persetan dengan proses perceraian, saat itu partnermu masih nikah," demikian ungkitnya, "Jadi kenapa kamu tak bisa menolerir situasiku?"

Aku merasa dipermainkan. Andin pernah bilang bahwa tak bisa memberiku cinta, waktu maupun status. Aku bukan pengemis, detik itu juga aku memutuskan kami selesai. Tapi aku memang tidak bisa mengelak kalau dia sangat menarik bagiku. Berakhir menjadi hubungan tarik-ulur, partner sampai melotot karena was-was dengan hubunganku dengan Andin.

Andin selalu merasa aku tidak adil. Bahwa aku lebih mencintai partner bahkan saat kami dekat (saat itu aku sama partner putus dan Andin belum nikah). Andin bilang dia mencintaiku seperti aku mencintainya dan bisa berkomitmen. Berulang kali kubilang kalau aku tidak berminat jadi orang ketiga dalam perkawinan seseorang, bahwa aku memilihnya ketimbang menunggu partner yang berarti mengharapkan perceraian seseorang. Kalau setelah aku menganggap hubunganku dengannya selesai lalu partner datang padaku dengan berita rencana perceraian kemudian aku memilih kembali pada partner sedang Andin menikah, ya apa aku bersikap tidak adil?

Justru aku lebih layak menyangsikan perasaannya padaku. Tak lama setelah kami selesai, dia sudah meniduri sahabatnya sendiri, yang juga temanku.

Tidak akan pernah berimbang, sampai saat ini aku pikir aku lebih besar menggunakan perasaanku bila berhadapan dengan dia, dan dia membiakkan keuntungan bagi kenikmatannya. Aku takkan menyangkal perasaanku padanya, kekecewaanku yang besar, tapi aku juga punya prinsip. Bukan masalah berbagi istri atau tidak mau menjadi nomor dua. Bukan pula tak ingin bahagia. Aku menghormati perkawinan, tiap kali tertarik dengan istri orang aku membayangkan ada orang lain yang akan sama patah hatinya seperti hatiku dalam Andin: ada lelaki setia yang hancur hidupnya. Apakah mereka yang sudah bersumpah di depan Tuhannya untuk saling setia dan cinta, yang ternyata mempunyai belahan jiwa lain selain orang yang bersumpah bersamanya, benar-benar dapat dipegang komitmennya?

Untuk apa percaya pada apa yang bisa patah dan mati?

Jumat, 31 Oktober 2014

Di Bawah Telapak Kaki Ibu

Tiga puluh tahun lalu, aku lahir karena Ibuku menginginkanku.

Satu malam lalu, seorang teman bercerita tentang anak dua belas tahunnya yang dua kali sudah berusaha ia gugurkan tapi tak berhasil.

Tahun lalu seseorang yang pernah penting bagiku, yang memutuskan untuk menikah, kehilangan bayi pertamanya dalam kandungan setelah beberapa tahun pernikahan tak menginginkan anak. Kabar itu membuatku terpekur, menyadari betapa rentannya ia mengalami depresi, tapi memutuskan dalam hati bahwa aku bukan orang yang tepat untuk menemaninya melewati masa sulit itu.

Beberapa tahun lalu, seorang teman dari mantan menghubungiku. Bertanya padaku, bisakah membantu menggugurkan kandungannya?

Aku meletakkan handphone dan menghembus napas yang tak sadar telah kutahan. Ada berbenih-benih kesedihan, tumbuh merambat hingga menjebol bendungan air mataku. Pesan yang kuterima beberapa hari kemudian di beberapa tahun lalu juga menghancurkan hati. Keinginannya tercapai sudah.

Aku anak perempuan kesekian dari sepasang suami istri yang punya perbedaan usia sebelas tahun, yang berkembang lebih ke arah Bapak daripada Ibu. Kehilangan Bapak seperti gempa yang memorak-porandakan berbagai pondasi. Termasuk pondasi penghormatanku terhadap Ibu. Aku memang jarang sepakat dengan Ibu. Bisa dibilang durhaka.

Aku nyaris menyesali keputusan Ibu untuk mempertahankanku dalam kandungannya.

Seumur hidupku, aku melihat Ibuku hanya melihat kakak laki-lakiku. Seperti Ibu Jawa kebanyakan. Kakak laki-laki satu-satunya yang digadang-gadang menjadi tempatnya manamatkan hari tua. Kecemburuan tak pernah begitu dahsyat sebelum Bapak berpulang. Saat ini, aku sudah hampir lulus dan bekerja dengan gaji yang berlebih bila kupakai sendiri. Ibuku bilang aku akan jadi tulang punggung pengganti Bapak, sementara Ibu sibuk menyapih kakak laki-lakiku dari mimpi-mimpi ideal.

Aku nyaris berpikir bahwa aku lebih baik kehilangan Ibu daripada Bapak, hatiku hancur oleh bayangan Bapak kehilangan perempuan separuh jiwanya.

Lalu aku menapaktilas kembali perjalanan. Betapa aku lahir karena Ibuku menginginkanku. Menginginkanku sampai pada kadar nyawanya tak lagi penting, meskipun dengan bumbu mengira aku bakal jadi anak laki-laki, perdarahan demi perdarahan terjadi pada trimester akhir yang membuat dokter mempertimbangkan untuk mengorbankanku daripada Ibuku demi menekan jumlah kematian Ibu.

Apakah penting mencari tahu alasan seseorang mempertahankan hidup orang lain?

Kalaulah seseorang berterima kasih padaku karena menyelamatkan nyawanya saat dia tenggelam di laut bila pekerjaanku penjaga pantai, apakah ia berterima kasih pada pekerjaanku ataukah ia berterima kasih karena aku memang benar-benar mau menyelamatkan nyawanya?

Kalaulah seseorang berterima kasih padaku karena menyelamatkan nyawanya saat dia sakit bila pekerjaanku dokter, apakah ia berterima kasih pada pekerjaanku ataukah ia berterima kasih karena aku memang benar-benar ingin menyelamatkan nyawanya?

Apakah penting mencari tahu alasan seseorang mengambil nyawa orang lain?

Mengapa dokter lebih memilih mempertahankan Ibu? Karena Ibu bisa memiliki anak lagi? Apa aku semudah itu terganti? Bagaimana orang bisa tahu bahwa  tiga puluh tahun kemudian anak yang akan dikorbankan itu menjadi sandaran letih, menjadi satu orang kebanggaan, menjadi satu mercusuar bagi orang lain?

"Sorry, is all that you can't say
years gone by and still words don't come easily

I love you is all that you can't say
years gone by and still words don't come easily"*

Di saat seperti ini aku ingin mencium kaki Ibuku, ingin menangis dalam pelukannya dan mengucapkan maaf. Meski hanya ingin. Mungkin karena di bawah telapak kaki Ibuku ada surga. Mungkin sebagai rasa terima kasih sudah memutuskan untuk berjuang bersamaku saat kehamilan dan persalinan tiga puluh tahun lalu. Aku mungkin ingin memeluk Ibu karena telah tiga satu tahun ini mencintaiku apa adanya, membiarkanku mencintainya dengan bersikap apa adanya, membiarkanku tumbuh dan belajar mencerna apa yang ada. Aku mungkin ingin memeluk Ibu karena sudah memberiku kesempatan, untuk mengarungi dunia lebih luas dari kakak laki-lakiku. Melangkah setapak demi setapak dalam dunia yang tak sempurna. Atau mungkin aku memeluk Ibuku untuk alasan yang tak ingin kuketahui karena aku hanya ingin memeluk Ibuku.

"I don't know but I believe that some things are meant to be
and that you make a better me"*

Bahwa sekalipun aku hanya melihatnya melihat kakak laki-lakiku, aku tahu pasti, Ibuku 'melihatku' dengan inderanya yang lain.


*Lirik lagu yang dipopulerkan oleh Boyzone

Jumat, 04 Juli 2014

World Cup 2014

On 2010, I was angry and resentful, Italy had been knocked out of the World Cup.

And the nightmare is still going on in 2014. God!

The fact that I love this country more than the football game does help much. Italy is a beautiful country; her buildings, her cities, her como, her mysteries. You can read in the book history about plague and the haunted island. They have stunning seaside towns perched over the cobalt blue Mediterranean. They still have the cobblestone street from Roman time. Feel the romance while you ride a Gondola with your partner. I just love Italy.

I'd like to go there with Heningswara someday.

Jumat, 30 Mei 2014

A Pirate's Heart mini review

I've just finished A Pirate's Heart by Catherine Friend.

OMG, I looove the story so much.

There were two love stories. In 1700's, Captain Tommy saved Rebekah Brown from the sea. Trying to escape from the Captain's ship twice but failed, Rebekah find herself falling hard for Tommy. Could the Jamaican slave win Tommy's heart? While far in the future, there is a librarian tries to find Tommy's map. A private investigator decodes Tommy's map and boom, a treasure hunt has just begun.

I really love the happy ending for both love stories. I can't predict how the treasure kept hidden, it's a funny way to click the key to the lock (the hidden island, I mean) but I waste no breathe to complain.

Favorite quotes: dum spero spiro.

Oh, I must to add, this is a lesbian novel. Sorry, boys.

Sorry

I'm sorry for the late up date. It's not that I will write any worthy up date. I'm just telling you that starting from last month I have a very tight schedule because I wish to graduate next year.

That will affect my productivity, too, to write this blog I mean.

Okay, see you on the next up date.

Minggu, 23 Maret 2014

Glee 5, Brittana Endgame? And BFF?

Because I hate the new (NY) Santana, I don't watch Glee as much as I did. But the 100th episode promotion told me there would be Brittana.

Yeah. but still, I don't like it.

I'd rather see Arizona and Callie's struggle than Brittana. Or Bo and Lauren's.

There is a funny news from the newspaper, in Michigan 300 gay/lesbian couple marital state are unclear. The government stopped the gay married after allowing it for just, one day? Or less.

Damn shit, you are.

Do you remember that I wrote about BFF? My ex BFF (I don't really like this term) mesagged me that her mom was wheeled into my city's hospital ER. She asked if I was free, and I said yes, I was and if she needed me, I'd come to help.

The next day, knowing that her mom was in Intermediate care, I came to the hospital in a rush after attending a morning report. Alfin wasn't there. I talked to her big sister and her mom, grateful that she was in a good condition after hemodialysis procedure. I waited an hour or more and then we met.

I had no fucking idea that she was pregnant. Her second child.

She asked me, when will I follow her, being married and pregnant. She knew my orientation, we had kissed in the past and now she's asking me to marry a man and get pregnant?

Hey, n1n, when will you become a straight one?

Straight my ass.
I wondered why I came this far, keeping a BFF term for her but from the day we had started to know each other up until now I didn't think she understand me.

In a mild sarcasm I told her that it I do not want to follow her path. She told me, you never change. So I told her that I didn't understand why she had texted me last year and telling me that I'm changed if right now she told me that I'm still the same person she used to know. Why she'd texted me that, and the fact it was her who had changed.

She couldn't answer me. I was so disapointed, I felt that I'd rather never had this conversation and let her judge me as she wish.

After parting, she texted me that I never change. I didn't reply it. I said to myself, people didn't change. They evolved.

But I don't think she'll understand it.

Sabtu, 01 Maret 2014

Yang Malam Mingguan Sama Pacarnya Kudoain Putus...

Demikian, serangan umum satu Maret kukerahkan pada seluruh khalayak yang berpacaran malam Minggu ini.

I have a blue Saturday night, it means today. No partner and no friends. Erna is busy, went back to her hometown to prepare her wedding ceremony. Nick is busy, she's getting close with her fellow worker. Heningswara is out somewhere. I was thinking about go to the cinema alone but, the rain made me stay at home. Alone. So, I'm updating my gadgets and during the heavy rain the wi-fi works slowly.

So, I'm wandering around, in the internet I mean.
There's no good fan fiction I found to read, so I'm just surfing from blog to blog. Damn, I'm craving for some rum raisin ice cream and only find Teh Botol in my refrigerator.

I should've read my textbooks, but I'm in a very bad mood.

Although it's raining but the temperature in my house rises, my elementary school friend messages me via Facebook and I'm only replying her with one or two words. Cool? Nop. I feel sorry for her, she is just a nice friend that said hello but instead of getting a nice and warm reply, she only got my tantrums. Yeah, and she's asking about my father whereabouts. I said, daddy's gone.

I'm thinking about writing this blog in English from now. I know I'm not good in using this language, but I'd like to learn and be more friendly to the non-Indonesian speaker.

Back to my elementary school friend, she told me that my ex now's a policeman. He moved from his old house (I knew it years ago, when I passed his house and found the building he used to live had already gone), and she asked me if I know something about him.

A couple years ago, he contacted me in sudden, asked me if I'm home. He took me out to the cinema and we're watching a weird movie about a killer from the orphanage (I don't really remember about the plot). After we went out, he texted me, about I'm being his first love, etc. Frankly, I don't even remember being in love with him. I knew him long ago, before I knew what is love, and I feel safe with him. He was a good man, and I don't want to hurt his pride. So, I said no and asked him not to waste his time (on me). I don't want to share this story with other friend who knows him, it's between me and him. But he never mentioned about joining an army or other that time.

I'm getting used to attending my exs's wedding day. I'm not surprised if one day the policeman asked me to come to his.

So, a sudden idea bursts in my mind, how about we're making a reunion. This isn't a fresh idea, me and some fellow alumni talked about it when we're attending our teacher's death ceremony. This is a very heavy duty, since we got no yearbook and even though we had, some friends might be moved from their old addresses. Yeah, may be we would had difficulties, but I'd like to put it in my agenda for the next year.

Ok, I think I had enough babbling.

Kamis, 06 Februari 2014

She Came at Dawn

I'm a fanfiction reader and a fan of an author "Damn Unique" whom wrote this beautiful novel. Just when I read the first chapter, I fell in love with the story and followed it.

I never believe in love at the first sight. And there are so much things I don't believe in, some because I've never known about 'em. But this novel enlighten me to feel the existence of things I've never known or felt. It was like a map to the unknown city, it was one of many faces of love. It had the same two sides, its ruthlessness and its beauty.

Lets meet Melissa, the it girl with a perfect boyfriend. She had the world under her palm of her hand, so boring, no wonder she'd toss it for a mysterious raven-haired Ducati rider. But there was a problem. And a bigger problem. It was a woman and she was her best friend's girlfriend.

Long time ago, mom told me that I shouldn't bother about love. I think every mom of every girl said the same thing, too, and so did Melissa's mom. She ought to stick to a man that surely deserves her, but Melissa thinks Laila do. Read this book, join them in the joyride of love and prove that mommy lied.

Aku penggemar fanfiksi, seorang penulis favoritku membukukan buku She Came at Dawn setelah menuliskannya secara bertahap dan melakukan beberapa koreksi. Sebenarnya, fanfiksi bisa menjadi karya yang berdiri sendiri, mungkin yang punya ragam alternate universepunya kans paling besar untuk itu. Sebab bacaan bagus tetaplah bacaan bagus, banyak sekali penulis fanfiksi yang punya potensi besar untuk menjadi penulis lepas.

Katja Michael menulis She Came at Dawn (SCaD) tahun 2013, mewarnai kancah fiksi lesbian.

Banyak orang tak percaya cinta pada pandangan pertama, pun aku meski sudah mengalaminya dua kali. Katja mengambil tema ini pada tulisannya dan berhasil membuatku tersenyum-senyum sendiri, mengingat masa aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Di dunia ini segala sesuatu punya dua sisi, cinta tak menjadi pengecualian, sisi kejam dan sisi indah. Sering kali kita melihat sisi kejam cinta sebagai keindahan tersendiri atau sebagai kesatuannya.

Melissa bertemu Laila, yang mempunyai rambut seperti kegelapan malam, saat senja dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama tanpa dia sadari. Melissa punya segalanya saat Laila masuk dalam kehidupannya dan Melissa harus berjuang agar segalanya tidak porak poranda. Laila menyeruak seketika, di kampus Melissa, di mimpi Melissa, di kehidupan cinta Melissa. Keduanya menyukai Romeo dan Juliet, Melissa utamanya, keduanya jatuh cinta pada pandangan pertama dan mabuk karenanya.

Dulu, ibuku selalu bilang, tak usah kuatir masalah cinta. Hal itu mungkin juga dikatakan ibu semua gadis, bahwa kita musti bertahan pada lelaki yang setara bibit, bebet, bobot.  Kesetaraan di jaman ini mungkin tak lagi mengenai hal itu. Dan bagaimana kalau kita beri referensi baru pada "kesetaraan" dengan tak melulu lelaki dan perempuan yang seimbang?

Bergabunglah dengan Melissa dalam memaknai kesetaraan dan cinta, and prove that mommy lied.

Kamis, 23 Januari 2014

new year new passion?

Sejak akhir tahun kemarin, aku memilih lebih banyak membaca. Diariku kosong, mungkin sebagai mekanisme pembelaan ego, ada satu lubang besar di hatiku sepeninggal Bapak dan aku belum tahu bagaimana mengatasinya. Januari ini adalah bulan ketiga masa penyesuaian diriku, dan aku merasa banyak dari diriku yang terpendam mati bersama Bapak.

Salah satunya adalah keinginanku untuk menulis. Biasanya aku orang yang mampu mengatasi kekeringan ide, tapi kali ini aku benar-benar tak punya napsu untuk menulis. Tulisanku cuma tentang ilmiah saja, seolah ada prioritas yang bergeser dalam hidupku yang selama ini mencintai fiksi. Aku kerajingan buku-buku ilmiah dan itu mematikan imajinasiku. Saat aku coba menulis kelanjutan Kereta Malam, aku berhari-hari hanya menatap iPad dan berharap bisa membaca buku ilmiah kembali. This isn't good, aku tidak pernah punya ambisi tentang kehidupan pendidikan formal, dan aku merasa hidupku seimbang membaca mimpi-mimpi dan cerita-cerita indah milik orang lain. Puisi.

Karenanya aku memutuskan kembali ke fanfiction. Ku putar kembali anime seri MaiHiME, MaiZHiME sampai OVAnya. Kannaduki no Miko. Banyak yang terlewat olehku, yang baru tertangkap kali ini di panca indera. Banyak ide, tapi tak satupun dapat kutulis. What the hell?! Apa gunanya banyak ide kalau gak bisa nulis karena gak bisa menuangkannya. Ide bisa pergi, bisa buyar, bisa lenyap, tinggal aku yang ngaplo menyanyikan, "ide jangan kau pergi tinggalkan diriku sendiri, ide jangan kau lari..."

Barangkali karena sudah lebih dari 25 tahun bersekolah, aku bosan juga dengan prestasi sekolahku yang biasa-biasa saja. Tapi sekolah memang tak pernah menarik buatku.

Okelah, coba kupaksa diri membuat beberapa cerita pendek atau puisi. Sekarang, aku mau belajar dulu, cie...