Kamis, 25 November 2010

pertemuan ILGA dan FPI , luka yang masih basah ?


satu tempat di sudut bungkul adalah salah satu tempat favoritku dan teman-teman sma ku untuk berkumpul. sebuah pembicaraan ngalor-ngidul di suatu malam di bulan puasa, kalau tidak salah, suatu waktu di dekat saat-saat relokasi pasar keputran menyeret kami pada pembicaraan peristiwa pemboikotan acara gay, lesbian, biseks dan transeksual oleh front pembela islam.

aku memang mendengar peristiwa itu dalam sudut pandang teman lgbt, juga pemikiranku mungkin mendekati fpi, tapi aku tidak pernah mendengarnya dari sudut pandang pihak ketiga atau keempat dari peristiwa tersebut, yaitu polisi dan wartawan.

kebetulan salah seorang temanku di sudut bungkul itu adalah seorang wartawan. jadi aku mengorek apa yang dia tahu dengan rasa tertarik yang berbeda. tapi aku tak ingin membahas sudut pandangnya itu.

kemarin malam aku duduk lesehan pada sebuah acara pelatihan menulis, atau sharing pengalaman menulis, dan lagi-lagi si empunya acara membahas tentang tulisan bertopik ilga dan fpi dengan menulisnya dalam bentuk fiksi berjudul air dan api. seperti yang bisa diduga, dia mengibaratkan ilga dengan air sedang fpi api.

mengapa ilga serupa air ?
well, menurut apa yang kudengar dari si empunya cerita yang juga empunya acara, air dipilih karena lebih lembut.

benarkah air lembut ?
well, adalah wajar bila ilga mengikuti sifat fisik air. ia mengikuti tempatnya, ilga berusaha menjadi homogen dengan kemajemukan masyarakat di mana dia berada. sebuah peradaban baru, selayaknya menjadi "lembut" agar diterima masyarakat dengan peradaban lama.
dan tak seperti api, air tidak dapat dipadamkan. akan selalu tumbuh tunas-tunas pejuang ilga baru meski yang lama telah tumbang.
akan tetapi air juga bersifat pelarut, juga heterogen. ini tidak cocok dengan ilga yang semestinya merupakan terlarut. pelarut merupakan masyarakat yang ada.
titik didih yang tinggi dan titik beku yang rendah menunjukkan adanya keterikatan yang erat antara komponen-komponen di dalam ilga yang membutuhkan kekuatan besar untuk meruntuhkannya. namun seperti air pula, setelah menguap atau membeku, air bisa kembali menjadi air lagi, perjuangan ilga tak bisa dibunuh begitu saja.
air merupakan bahan terbesar di dunia ini, tidak cocok dengan ilga yang minoritas.
tapi jangan lupa, air itu juga kejam.

sedang fpi api ?

aku tidak tahu. aku tidak ingin tahu. orang-orang bisa berlandaskan keimanan yang sama, tapi tidak melulu punya cara pandang yang sama. siapa, sih, orang indonesia yang tidak mengutuk bom-bom tahun-tahun terakhir di indonesia ? siapa, sih, orang indonesia yang tidak simpati terhadap korban wtc di amrik sebelas tahun yang lalu ?

sebenarnya ini tergantung sudut pandang juga, sih. kalau diambil dari sudut pandangku sendiri, aku tidak merasa semua pihak punya kesalahan. tidak fpi, tidak ilga. hanya saja, benar adanya hal ini melukai perjuangan pluralitas rakyat indonesia yang terakhir dipelopori secara luar biasa oleh gus dur. pembaharuan sosial budaya yang dihadapi masyarakat kita sudah luar biasa sekali kurasa. pergesekannya pun menjadi pembicaraan menyenangkan di kantin-kantin, warung-warung, rupanya masyarakat indonesia adalah kritikus yang baik dan terus membaca gejala.

pergesekan itulah yang terjadi pula di antara ilga dan fpi. wajar dan mengamati peran mereka masing-masing. aku tak pernah muncul ke permukaan sebagai salah satu bagian dari ilga, namun aku mengamati perkembangannya diam-diam (aku selalu berdoa agar orang-orang ilga tak berhenti menulis agar aku tetap dapat mengamati) dan merasa senang dengan letupan yang ada. konflik akan membangun kedua belah pihak untuk pintar mengemas tindakan mereka berikutnya.

kadang kita memang mesti belajar luka orang lain untuk menjadikan kita besar.

seperti kata seorang penyair dari malaysia yang aku lupa namanya, indonesia ini luar biasa. negara besar yang sedang membangun demokrasi besar-besaran yang diperhitungkan oleh dunia. pada dasarnya aku percaya tak percaya, tapi melihat konflik-konflik yang sering terjadi akhir-akhir ini membuatku berpikir ulang. benar, indonesia sedang beranjak dewasa.

sedangkan islam sendiri, sebagai agama lima belas abad terasa tidak up to date untuk orang-orang tertentu. anggapan islam terlalu keras, sempit dan kuno alias tidak sesuai perkembangan zaman bisa jadi seperti pergulatan perkembangan ilmu pengetahuan dan etika. selamanya ilmu pengetahuan akan berusaha dikendalikan oleh etika. selamanya perkembangan sosial budaya akan berusaha dikendalikan oleh agama, agama apapun. karenanya, kebanyakan untuk para ekstrimis pecinta evolusi sosial budaya atau perkembangan ilmu pengetahuan menentukan sikap kepercayaan mereka terhadap ketuhanan dengan menjadi atheis atau agnostik. they cant help it. untuk menjadi total, mereka mesti menyesuaikan diri. itu sifat dasar manusia.

jadi bila ilga ataupun fpi tetap menoleh ke belakang, akan luka yang masih terasa basah, boleh-boleh saja untuk belajar dari luka yang ada. selanjutnya, kita mesti berangkat dari koma itu untuk maju menentukan strategi. sebab luka baru baru akan dibuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar