Kamis, 18 November 2010

suatu sore di jakarta


jakarta mendung.
jam setengah tiga sore. setengah siang setengah sore. nanggung sekali waktuku pulang hari ini. mumpung masih jam segini, akhirnya aku memutuskan meng-short message ang : "aku belanja hari ini, hun, minggu depan berarti bagian kamu 2 minggu berturut-turut". ang belum membalas, dan aku terlanjur tersesat di mall favorit kami.
sekelebat wajah yang kukenal terlihat di depanku. aku ragu sekian detik sebelum berteriak, "agnes ?!"
perempuan yang aku yakin bernama agnes itu menoleh seketika dan terbelalak sebentar. "andin ?"
perempuan itu lalu menghampiriku. kucium bau yang kurindu sekian tahun ini. senyum mengembang di wajahnya yang makin matang.
"ngapain kamu di jakarta ?", sapaku.
"main-main aja. anak-anakku lagi liburan, ada nikahan saudara juga. sekalian."
"ooo. mana mereka ?"
"anak-anak ? mereka kecapekan. tadi pagi-pagi sudah ke sana ke mari. giliran diajak mamanya nge-mall pada nggak mau."
"ooo…"
"sendirian, ndin ?"
"iya, nih. mo belanja kebutuhan mingguan buat makan"
"kamu masak ?"
"enggak. angger yang masak." aku tertawa dalam hati.
mataku memperhatikan sekeliling kami berdua untuk mencari satu tempat nyaman supaya kami bisa bicara sebentar. lebih tepatnya, mengajaknya bicara sebentar. nostalgi. apapunlah. yang penting bisa sejenak berdua dengannya.
"cari tempat buat ngobrol, yuk." untuk kali pertama aku tak mencari-cari alasan yang tidak bisa dia tolak. untuk kali pertama pula aku lupa bertanya apakah dia ke mall ini sendiri atau…
agnes menatapku sebentar lalu mengangguk. mataku menangkap satu tempat yang terlihat nyaman di sebuah kafe bernama domestik.
awalnya dia hanya menatapku diam setelah kami berdua memesan menu. aku menyeringai lucu dan dia tertawa. tawa yang mencairkan suasana, lalu kami ngobrol.
lima tahun lalu dunianya masih merupakan dunia yang kukenal. dunia kami itulah yang menjadi obrolan kami sore ini. teman-temannya sesama pendidikan spesialis dulu, pekerjaannya sekarang, sekolahku, pernikahan teman-teman, anak-anaknya, dan banyak hal lain yang terseret di dalam pembicaraan kami.
di tengah-tengah serunya pembicaraan, mulutku tiba-tiba bergumam, "aku kangen banget sama kamu."
agnes menatapku, mengalihkan pandangannya yang semula tertumpu pada gelas minumannya.
"aku juga," ucapnya sambil tersenyum. ada rasa hangat yang terasa dalam hatiku. rasa hangat yang nyaman.
"cincin kawinmu ?", tanyanya mengejutkanku. ternyata pandangannya telah beralih ke jari tanganku.
"oh, kadang-kadang aku lupa memakai cincin kawin sehabis mandi." ang kadang menemukannya di dekat wastafel dan selalu memarahiku sambil memasangkan cincin itu di jemariku lalu mengecupnya.
"udah 2 tahun, ya, pernikahanmu sama angger"
"iya"
ada jeda diam yang sangat menggangguku untuk beberapa lama.
"setelah lulus koas, aku bingung mau nglakuin apa. ya, aku berpikir untuk menikah, rasanya natural sekali pernikahan setelah pelantikan dokter. itu juga yang dilakukan banyak teman," aku berhenti sebentar. dalam hati aku merutuki diri sendiri, kenapa aku cerita gini ?
butuh beberapa tahun untuk mengambil keputusan menikah dengan ang, kudapati bahwa menjalaninya ternyata lebih mudah dari sekedar mempertimbangkan apa yang bakal terjadi ke depannya. lebih mudah, bukan berarti mudah.
menatap kembali perempuan di depanku, aku tak yakin akan kata-kata yang sudah kuucapkan barusan, tak yakin mau bicara tentang apa, tak yakin mau mengatakan apa. aku tak tahu apa yang telah terjadi antara kami bertahun-tahun ini. setelah aku lulus, kami yang dulunya begitu dekat dan tak terpisahkan, bahkan menjalani cinta terlarang karena dia telah punya anak dan suami, tiba-tiba mulai jarang saling telepon. sms-sms dan mesej-mesej via internetpun menjadi berkurang frekuensinya seiring berjalannya waktu. sampai suatu hari komunikasi kami terhenti sama sekali dan rutinitas mengaburkan rasa kehilangan itu.
"banyak hal terjadi dalam lima tahun ini. aku tidak akan menjelaskan semuanya, tapi saat ini, aku puas dengan hidupku," aku mengambil kesimpulan singkat dari rantai pikir yang baru saja lewat.
agnes tersenyum. "aku senang mendengarnya," katanya tulus. hapenya berbunyi tiba-tiba, dia mengecek id-nya.
"aduh, sori banget, ndin. aku harus cabut nih."
dia memanggil pelayan kafe untuk meminta bill. aku mencegahnya mengeluarkan uang dari dalam dompetnya, mengatakan kali ini biar aku yang bayar. dia keberatan awalnya, tapi saat kuingatkan bahwa dia sedang tergesa, dia menatapku sebentar, lalu mengalah. kami berjabat tangan sebelum berpisah, menempelkan kedua pipi kami bergantian dan mengucapkan kata-kata perpisahan yang hangat.
sebuah sms sampai pada hapeku tak lama setelah agnes pergi : "sayang di mana ? aku baru tahu smsmu, aku sudah terlanjur keluar dari swalayan. udah belanja."
aku tersenyum simpul. "aku ada di kafe lantai 3, domestik," pesan singkat kukirim. tak lama, sebuah wajah yang kukenal menyembul.
"sudah lama ?"
"enggak. tapi udah terlanjur minta bill."
"oh, duduk bentar ya, pengin kopi, nih."
aku menatap laki-laki yang duduk di depanku, yang sedang memesan kopi pada pelayan, menggantikan agnes yang duduk di kursi itu sebelumnya. bayangan agnes perlahan tergantikan sosok lain. kenangan-kenangan tentang agnes mendapati diri mereka sendiri terkubur dalam kenangan-kenangan baru yang lain. pintu masa lalu yang terbuka sebentar, tertutup lagi kini. seperti luka lama yang hanya menjadi jaringan parut yang tak nyeri lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar