Rabu, 01 Desember 2010

1 desember 2010, rabu


rabu adalah hari baik untuk mulai belajar menurut islam. dulu, sekolahku sma selalu memulai hari di hari rabu setelah liburan panjang.

hari ini rabu, 1 desember 2010. menitikbaliki perjalananku mengenal hiv/aids. aku belajar kehidupan dari kematian akannya.

kurang lebih dua tahun lalu, aku berada pada satu bangku tunggu di unit perawatan intensif penyakit infeksi di sebuah rumah sakit proponsi di surabaya. duduk di sebelahku, seorang ibu yang bercerita tentang anaknya yang barusan di pindah dari suatu rumah sakit daerah ke rumah sakit ini karena penyakit anaknya saat ini. ibu itu perlahan-lahan meneteskan airmata, menceritakan bahwa anaknya adalah seorang laki-laki yang baik, berusia hampir tiga puluhan dan berbakti kepada orang tua. tak pernah sakit sebelumnya sampai sakit yang sekarang ini. di rumah sakit daerah, dia dirawat selama sebelas hari sebelum tim dokter rumah sakit tersebut menyarankan untuk merujuk anak ibu ini ke rumah sakit yang punya fasilitas lebih lengkap. saat sang anak diberitahukan demikian, ia langsung memohon pada ibunya untuk tidak mengikuti saran dokter.

"jangan, ibu, nanti aku diisolasi," demikian kata anaknya. namun ibu yang berharap akan kesembuhan anaknya tersebut memilih mengikuti saran dokter. hari ini adalah hari keempat anaknya berada di ruang ini dan semakin lama kesehatan anaknya semakin merosot. hari ini anaknya mendapat perhatian serius oleh tim perawat di sana. ibu itu bolak-balik keluar-masuk ke dalam ruang perawatan. semula ada beberapa lelaki yang berbincang-bincang dengannya menanyakan keadaan anaknya, sampai satu demi satu lelaki-lelaki itu kemudian pergi dan akhirnya ibu tersebut terduduk lesu di sebelahku.

"ibu nungguin sendirian ?", tanyaku.
"iya, nak."

ibu itu menceritakan tentang adik-adik dari anaknya yang sakit ini dan tentang rumahnya yang terendam lumpur di belahan sidoarjo. mengatakan bahwa saat lumpur meluluhlantakkan rumahnya, sang anak yang sakit ini memilih merantau ke jakarta untuk membiayai keluarganya ini. di jakarta anaknya berjualan sandal keliling. setiap bulan anaknya mengirimkan uang ke rumah untuk ibunya dan adik-adiknya.

"ibu tahu ini ruang apa, bu ?", tanyaku berusaha selembut mungkin.
"tahu, nak. tapi ibu heran kenapa anak ibu bisa kena penyakit kayak gini." ini ruang perawatan untuk orang dengan hiv/aids.

aku cuma terdiam. banyak kudengar penyangkalan keluarga tentang perilaku seorang anggota keluarganya sehingga terkena penyakit ini, ini menjadi suatu keprihatinan tertentu bagiku karena terkadang seseorang mengaku kenal orang lain, namun kenyataannya ia sama sekali tak kenal orang itu. akibatnya, penyakit ini telah mengintai ibu-ibu rumah tangga baik-baik yang tak "mengenal" perilaku suaminya, begitu banyak rumah tangga yang habis keturunannya karena penyakit ini. ibu-ibu yang menangis, ratapan-ratapan penyesalan orang yang menulari pasangan sah dan anaknya. kenapa mereka tak pernah berpikiran tentang hal itu sebelum semua terjadi ?

semula itulah rutukanku.

sampai detik di mana aku melihat anak ibu itu dinyatakan meninggal oleh seorang dokter muda. ibu itu duduk di sebelahku setelah mendampingi perjuangan akhir anaknya di dunia ini. perdarahan lambung terus menerus membuat kondisi anaknya syok dan pemberian cairan tak mampu menyambung nyawa sang anak. kulihat tubuh besar yang segar tergolek kaku. tubuh lelaki muda yang terlihat sehat, namun selang terpasang di hidung dan lengannya, dicopot satu-satu oleh seorang perawat. dokter sibuk menyiapkan surat-surat, ibu itu menunggu di sebelahku mengusap airmatanya yang terus mengucur dengan sedikit isakan.

"padahal uang ganti rugi rumah yang terkena lumpur diurus atas nama anakku ini, nak," ucapnya di sela usapan airmatanya. aku tertegun, begitu banyak hal yang mesti dipikirkan ibunya untuk ke depannya, daripada sekedar menyesali kepergian anaknya. aku, yang tak kena dampak apa-apa, malah merutukinya tak jelas. merutuki mengapa ia pergi meninggalkan begitu banyak permasalahan, mulai dari finansial hingga masalah stigma sosial : berapa banyak di antara kampung kita yang mau menerima, merawat dengan ikhlas dan mengubur jenasah orang dengan hiv/aids ? for me he was just a dead man yang mati menyusahkan, tapi bagi keluarga ? bagi sesama orang dengan hiv/aids sendiri ?

ada begitu banyak yang harus dipahami dari hiv/aids, termasuk pemahaman terhadap orang dengan hiv/aids sendiri. mereka adalah orang yang begitu terpinggirkan, tak ada bedanya dengan kita saat putus asa. mungkin bedanya adalah kita merasa terbenarkan untuk menyalahkan kelakuan mereka dan merasa mereka layak mendapatkannya.

but who are we to judge them ? dan apa gunanya juga kita menjadi orang yang hanya melihat ke belakang saja. kita boleh saja merutuki apa yang dilakukannya di belakang, tapi kenapa kita tidak menutup pintu belakang dan berjalan ke masa depan yang masih bisa dirubah ?

saat sang anak menolak untuk dipindahkan ke rumah sakit propinsi, aku sadar bahwa ia tahu penyakit apa yang sedang dideritanya. besar kemungkinan ia juga dapat mengira darimana ia mendapatkannya. mungkin ia ingin mencegah ibunya membawanya ke rumah sakit ini agar ia dapat meninggal dengan tenang di rumah, supaya surat meninggalnya tidak menyebutkan penyakit apa yang di deritanya yang bisa terdeteksi lewat peralatan di rumah sakit ini.

kehadiran lelaki-lelaki tadi siang yang kulihat kembali saat kematian anak ibu itu membuatku mengerti pentingnya pendamping yaitu orang-orang yang peduli terhadap orang dengan hiv/aids itu baik terhadap penderita maupun pada keluarga. mereka dan pengetahuan mereka menjadi sarana penyambung penting bagi sosialisasi penderita dan keluarga dengan masyarakat. tak jarang banyak negosiasi-negosiasi penting seperti kasus pengusiran orang dengan hiv/aids dan keluarganya dibantu selesaikan oleh para pendamping ini. mereka membantu dari masalah paling pribadi hingga sosial kepada lingkungan hingga orang-orang dengan hiv/aids ini punya kepercayaan diri yang membawa mereka pada kualitas hidup yang baik dan memperpanjang usia mereka dengan energi-energi positif lewat pemikiran dan kegiatannya. aku menyadari betapa sendiriannya orang-orang di sekitar hiv/aids ini tanpa mereka. dan tanpa dukungan dari kita sebagai masyarakat.

dan kita tak berhak untuk memborbardir habis energi-energi positif itu dengan prasangka-prasangka kita terhadap masa lalu dan penghakiman kita sendiri. bukan hiv/aids yang begitu cepat menggerogoti hidup orang dengan hiv/aids dan keluarganya, tapi cara pandang dan prasangka kita lah yang membunuh mereka lebih cepat.

sejak itu cara pandangku menjadi berbeda. orang hiv/aids tidak lagi terlihat begitu berbahaya bagiku. malah, menurutku, kitalah yang menjadi bahaya besar bagi mereka. betapa mereka begitu rentan menerima trauma patogen (penyakit) dan psikis dari kita. betapa kata-kata kita punya pedang di dalamnya saat kita mencaci, melecehkan, meremehkan ataupun menghakimi mereka. we are the one who kills them, not their disease.

sampai detik di mana aku menulis ini, dari pengalamanku sejak 2 tahun itu, aku memang belum pernah lagi berinteraksi dengan orang dengan hiv/aids maupun keluarganya. namun dari dalam lubuk hatiku, dengan menuliskan pengalamanku ini, aku berharap bahwa perlahan-lahan jalan terbuka bagi mereka dan orang-orang yang peduli dengan mereka. bahwa suatu saat nanti masyarakat akan teryakinkan dengan pemahaman baru yang menghapus stigma yang saat ini masih menempel erat pada penyakit hiv/aids ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar